RemembeR

" hidup sekali, hiduplah yang berarti"

Mengenai Saya

Foto saya
Allow cendekiawan baru, ktemu dengan aq dlm blog ini. q asli reog city.blog ini berisi secara keseluruhan tentang pengetahuan. harapanq bermanfaat wuat QM-QM

Selasa, 30 Juni 2009

G-Spot Enhancement, dan Operasi Kosmetika Lainnya Shutter Stock Begini prosedur botox dilakukan. / Senin, 29 Juni

Dunia kesehatan kosmetika kini memang telah semakin berkembang. Dahulu orang mungkin hanya mengenal operasi pembesaran payudara, yang disebut breast implants. Sekarang, operasi payudara tidak hanya masalah membesarkan payudara, tetapi juga melakukan rekonstruksi payudara akibat gravitasi, untuk mengecilkan, atau menyamakan ukuran payudara kanan dan kiri yang tidak sama.

Untuk operasi payudara saja, para ahli bedah plastik di dunia sudah menciptakan penemuan-penemuan baru. Salah satu yang paling terkenal adalah Dr. Robert Rey, penemu prosedur breast augmentation tanpa memperlihatkan bekas luka. Pemilik klinik bedah plastik di Beverly Hills ini melakukan teknik operasi tanpa "berdarah-darah", lebih cepat, dan masa penyembuhan yang juga lebih cepat. Seluruh operasi dilakukan melalui pusar, dimana silikon "didorong" ke arah payudara sehingga area payudara tidak memperlihatkan bekas pembedahan.

Selain breast-implants, ada pula prosedur face-lift, chin implant, dan liposuction (sedot lemak), yang kini tentu sudah dianggap biasa. Namun inovasi mengenai prosedur perawatan yang dilakukan untuk kecantikan atau kesehatan juga makin berkembang. Anda tentu sudah sering mendengar tentang perawatan botox, atau lip injection, namun bagaimana dengan anal bleaching atau G-spot enhancement? Ingin tahu apa yang dilakukan para dokter dan ahli kecantikan pada prosedur tersebut?

Botox. Ini adalah tindakan kosmetika yang populer di kaum sosialita atau selebriti Hollywood. Caranya dengan menginjeksikan bahan protein yang diproduksi dari bakteri Clostridium botulinum, yang berfungsi mengurangi aktivitas otot yangmenyebabkan garis-garis kerutan di antara alis mata. Tindakan selama 10 menit ini dapat diterapkan pada orang berusia 18-65 tahun, pria maupun wanita, dan akan bertahan hingga 4 bulan. Perawatan botox telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA).

Rhinoplasty, yaitu operasi untuk mengubah bentuk hidung. Dahulu orang hanya ingin hidungnya menjadi lebih mancung atau lebih ramping. Namun sekarang ahli bedah plastik dapat melakukan pengubahan posisi hidung dilihat dari bibir atas, mengubah kemiringan hidung, mengoreksi tulang hidung bengkok menjadi lurus, atau berbagai perubahan bentuk hidung lainnya. Beberapa selebriti pemilik hidung "bengkok" yang meluruskan tulang hidungnya antara lain Jennifer Grey, Ashlee Simpson dan Ashley Tisdale.

Lip augmentation. Injeksi dan implant bibir yang membuat bibir terlihat lebih penuh atau lebih tebal. Bahan yang digunakan untuk injeksi antara lain kolagen, lemak dari paha atau perut, atau gel yang terbuat dari hyaluronic acid (substansi tubuh alami). Bahan-bahan ini akan terpecah dalam hitungan bulan, sehingga hanya berlaku sementara. Ada pula teknik implant (penanaman) yang bersifat permanen, meskipun dapat menimbulkan risiko alergi.

Anal Bleaching. Apakah hal ini berkaitan dengan pembasmian parasit atau virus yang ada di area tersebut? Ternyata tidak. Anal bleaching adalah tren baru dalam kecantikan, dimana warna kulit di sekitar anus dibuat lebih terang, agardapat mencampur sempurna dengan warna kulit lainnya di area tersebut. Teknik ini dapat digunakan juga pada vagina. Anda tahu kan, bahwa kulit di pangkal paha memang cenderung lebih gelap daripada kulit lainnya. Nah, sekarang tersedia anal bleaching cream yang bisa dibeli bebas.

Vaginal rejuvenation. Faktor usia, dan pengalaman melahirkan, membuat kekuatan dan kontrol otot-otot vagina menjadi berkurang. Diameter dalam dan luarnya meningkat. Otot-otot perineum menjadi lemah, sehingga vagina tidak lagi dalamringkat fisiologisnya yang optimal. Akibatnya, hubungan seks pun tidak lagi dapat dinikmati sepenuhnya. Untuk itu dilakukan vaginal rejuvenation, atau dikenal dengan nama vaginoplasty, dimana jaringan perineal diperbaiki dan otot panggul disambung dengan cara menjahitnya. Kulit vagina akan dibuat rapi sesuai dengan kencangnya otot panggul.

Dalam perkembangannya, banyak wanita yang menginginkan vaginoplasty untuk kecantikan, misalnya mengatur bentuk labia yang terlalu besar atau tidak simetris. Operasi plastik untuk keperluan ini membutuhkan biaya 3000-7000 dollar.

Hymenoplasty. Yaitu tindakan untuk memperbaiki selaput dara sehingga membuatnya tampak seperti masih perawan. Pada awalnya prosedur ini dilakukan untuk wanita-wanita yang selaput daranya robek akibat kecelakaan, padahal mereka berasal dari negara-negara yang masih mengagungkan keperawanan. Pada perkembangannya, banyak perempuan Amerika yang melakukan prosedur perawatan ini sebagai "hadiah" untuk suami mereka.

G-spot enhancement. Prosedur ini juga makin populer untuk membantu wanita yang tidak dapat menikmati hubungan seks akibat kehilangan titik sensitifnya. Caranya dengan menginjeksikan area (yang harusnya) sensitif tersebut dengan hyaluronic acid atau collagen. Setelah melakukan prosedur ini, wanita dapat merasakan kembali titik-titik sensitifnya, sehingga dapat merespons sentuhan pasangannya dengan maksimal. Hanya saja, hal ini hanya dapat berlangsung selama 3-6 bulan.

Selalu Cantik dengan Jambu Biji

Ingin terlihat sehat dan cantik sampai tua membutuhkan usaha yang keras. Tapi jangan buru-buru mempersepsikan usaha keras berarsiran dengan harus mahal. Sebab sekarang, ada cara alami dan pastinya murah yang dapat membuat kulit kita tetap cantik senantiasa. Apa itu? Jawabnya, jambu biji.

Para peneliti dari United States Department of Agriculture (USDA) menemukan bahwa jambu biji adalah buah dengan kandungan antioksidan terkaya di antara keluarga buah-buahan. Bayangkan, kandungan vitamin C dalam satu cangkir jambu biji lima kali lebih banyak dari jeruk, yaitu 377 mg. Vitamin C merupakan bahan dasar kolagen yang sangat baik untuk mengatasi masalah keriput di wajah para perempuan.

Mengkonsumsi jambu biji dapat meningkatkan kesehatan jantung. Jambu biji sangat kaya akan serat (9 gram/cangkir) yang bekerja untuk mengontrol tekanan darah dan kadar kolesterol dalam darah. Penelitian yang dilakukan Singh Medical Hospital and Research center Morrabad, India, menunjukkan jambu biji juga dapat menurunkan kadar kolesterol total dan trigliserida darah serta tekanan darah penderita hipertensi esensial.

Kandungan carotenoid dan likopen dalam jambu biji berguna sebagai alat pencegah penyakit kanker yang ampuh. Studi dari Harvard University, mengemukakan dari penelitian terhadap 48.000 laki-laki. Responden yang paling banyak menambahkan asupan likopen dalam menu diet mereka akan mengalami menurunan resiko kanker prostat sebanyak 45% .

Kiat : Konsumsilah jambu biji yang berwarna hijau kekuning-kuningan dan bertekstur agak lembek. Cara memilih jambu biji yang matang dapat mengandalkan indera penciumana kita, karena jambu biji matang akan mengeluarkan aroma yang khas.

Buat Read More

Trik Mudah membuat Read more

Lagi-lagi soal membuat fasilitas Read more.. atau Selengkapnya.. pada template baru (XML), topik ini rupanya yang paling banyak di baca dan di minati oleh para blogger baru. Hal ini terlihat dari banyaknya komentar yang masuk pada artikel tersebut, ada yang girang karena sudah merasa berhasil dan ada juga yang sedikit kecewa karena masih menemui kegagalan.
Dengan masih adanya kegagalan-kegagalan tersebut, maka dapat di tarik kesimpulan bahwa metode yang saya sampaikan ternyata masih kurang untuk di pahami. Dari itu tentu harus di pikirkan cara yang tepat dalam penyampaian suatu panduan. Beberapa waktu yang lalu ada sebuah komentar yang masuk pada salah satu artikel saya (artikel yang mana saya lupa dan sedikit malas untuk membuka dokumen komentar) bahwa metoda penyampaian tersebut sangatlah mudah untuk di pahami, maka pada kesempatan kali ini saya akan mencoba metoda tersebut pada artikel membuat fungsi Read more.. atau Selengkapnya...
Saran saya, ketika anda melakukan Editting pada kode template, sebaiknya jangan memakai browser Internet Explorer terutama Internet Explorer 6, pakailah browser lain semisal FireFox ataupun Opera. Bagi yang belum mempunyai browser FireFox bisa mendownloadnya secara gratis di sini! dan untuk Opera bisa mendownloadnya di sini!, Kenapa jangan memakai Internet Explorer? ini merupakan pengalaman pribadi saya ketika melakukan editting sering menemukan pesan error ketika memakai IE, dan apabila memakai browser lain pesan Error tersebut tidak muncul (proses edtting sukses), dan saya pernah membaca di blogger forum banyak yang melaporkan isu ini dan pihak blogger sendiri menyarankan untuk sementara memakai browser lain selain IE (maaf lupa catat alamat link nya).
Bagi yang belum sukses membuat fungsi read more..., coba ikuti langkah berikut ini :
Langkah #1
Sign in di blogger dengan id anda.


Klik Pengaturan


Klik Format


Pada layar paling bawah, ada text area kosong disamping tulisan Template Posting, isi tesxt area kosong tersebut dengan kode di bawah ini :
Klik tombol Simpan Pengaturan

Pemasangan kode ini di maksudkan agar pada saat posting artikel, kode tersebut langsung muncul tanpa harus menuliskan terlebih dahulu, jadi membantu kita agar tidak harus selalu mengingat kode tersebut.

Langkah #2
Klik menu Dasboard


Klik Tata Letak


Klik tab Edit HTML


Klik tulisan Download Template Lengkap.


Silahkan save dulu template tersebut, ini di maksudkan untuk mengurangi resiko apabila terjadi kesalahan ketika melakukan editting pada template, kita masih punya back up data untuk mengembalikannya seperti semula


Beri tanda centang pada kotak di samping tulisan Expand Template Widget , lihat gambar di bawah :





Tunggu beberapa saat ketika proses sedang berlangsung


Silahkan anda cari kode berikut pada kode template milik anda :



atau kode di bawah ini (sama saja) ;


Hapus kode diatas, lalu ganti dengan kode di bawah ini (klik pada tombol untuk menandai):




Klik tombol Simpan Template
Selesai.

Cara Posting Artikel
Klik menu Posting


Klik menu Edit HTML, maka secara otomatis tampak kode yang telah kita setting tadi, yakni :





Tuliskan artikel yang ingin tampak pada blog sebelum kode :





Tulis keseluruhan sisa artikel sesudah kode di atas tadi dan sebelum kode :





Klik tombol bertuliskan MEMPUBLIKASIKAN POSTING


Klik tulisan Lihat Blog(di jendela baru) untuk melihat hasil dari postingan kita, kemudian lihat apakah hasilnya sukses atau tidak. Jika tidak, mungkin ada bagian yang terlewatkan. Coba lihat kembali langkah diatas

Mudah-mudahan dengan adanya postingan ini tidak ada lagi yang mengalami kegagalan dalam membuat menu Read more...
Bagi anda yang mengikuti tutorial ini dan mengalami kegagalan, jangan panik ketika blog anda menjadi amburadul (katanya begitu dalam komentar), upload kembali backup templatenya dan nanti akan kembali ke keadaan semula sebelum di edit.
Selamat mencoba !

Bagi yang ingin belajar PHP / HTML / MySQL dengan sangat mudah sambil langsung praktek, kang Rohman rekomendasikan anda belajar di sini «« sok atuh di klik biar situsnya keluar

Ingin mendapat artikel seperti ini langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan. Atau jika ingin membaca melalui feed reader anda, silahkan klik di sini!

Sedini Mungkin, Wirausaha Juga Perlu Ditanamkan

Nilai, sikap dan kemampuan wirausaha harus dibangun sedini mungkin dan meliputi generasi muda yang luas, khususnya para siswa-siswi sekolah menengah.

Demikian pendapat tersebut dilontarkan oleh mantan Menteri KLH Sarwono Kusumaatmadja saat membuka 'Annual Student Company Competition 2009' bertajuk "Wirausaha, Pilihan Karir di Masa Depan", di Jakarta, Sabtu, (27/6). Acara tersebut merupakan kompetisi wirausaha untuk kalangan siswa SMP dan SMA/Sederajat yang digelar oleh Prestasi Junior Indonesia (PJI) hingga Minggu, (28/6).

Sarwono, selaku salah satu Komisi Nasional PJI, mengaku sangat gembira mendengar semakin besarnya kecenderungan generasi muda saat ini untuk menjadi pengusaha. Dia mengatakan, hal itu tak lain karena semakin banyak pengusaha semakin besar pula lapangan pekerjaan yang tersedia di tengah besarnya angka pengangguran yang kini mencapai 11 juta orang.

"Tentu dengan hadirnya lapisan wirausaha yang begitu besar akan dapat mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang makmur, disegani, dan kompetitif," sambut Sarwono.

Diikuti oleh 15 tim sekolah yang telah mengikuti Student Company Program di PJI, para siswa tersebut berlomba mempresentasikan bisnis mereka mulai perencanaan bisnis, strategi pemasaran, target penjualan dan sebagainya. Sebagai aplikasi, mereka juga membuka stan bisnis mereka di lokasi berlangsungnya acara.

Sabtu, 27 Juni 2009

Membeli Pakaian Bayi Ada Tekniknya!

Pakaian, kain yang menutupi bagian tubuh. Mungkin Anda berpikir, selama ini Anda tak pernah memiliki masalah dengan membeli pakaian apa pun. Mungkin hanya sedikit masalah, kekecilan atau kebesaran, lalu apa bedanya dengan pakaian bayi? Perlu Anda ketahui, bahwa ketika Anda salah memilih pakaian bayi, Anda juga bertaruh pada kesehatan bayi Anda.

Dr. Rini Sekartini Sp.AK., dokter spesialis anak pada Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSUPN Cipto Mangungkusumo menyatakan, bahwa ketika lahir, kulit bayi sangat tipis. Bahkan tak jarang seperti bisa terlihat bagian urat-uratnya. Pada bayi hingga usia 1 tahun, lapisan epidermis (bagian kulit terluar) 20-30 persen lebih tipis dibandingkan orang dewasa. Karena pertahanan di permukaan kulit belum sempurna, penyerapan iritan dari luar lebih mudah terjadi, dan ini bisa mengganggu organ bagian dalam tubuh si anak. Apalagi sistem imun bayi pun masih belum sempurna, maka harus diperhatikan bahan-bahan apa yang menyentuh kulit bayi. Kulit bayi masih sangat tipis, dan belum ada lapisan lemak tebal seperti orang dewasa. Sehingga, ketika orang dewasa terkena gesekan, mereka tak masalah, namun ketika kulit bayi tergesek, mereka gampang luka dan iritasi. Sesuatu yang tak memiliki efek berarti pada kulit sensitif orang dewasa, pada kulit bayi memiliki efek yang besar.

Dr. Rini juga menyatakan, bahwa ada 2 faktor utama yang perlu diperhatikan dalam hal memilih pakaian atau busana bagi bayi dan anak kita, yaitu aman dan nyaman. Aman dalam arti tidak membahayakan, dilihat dari materi bahan pakaian yang digunakan. Bahan yang terbaik adalah katun, karena menyerap keringat. Tidak luntur karena proses pewarnaan yang kurang tepat. Lalu tidak menimbulkan rasa gatal atau alergi di kulit. Minimalkan penggunaan aksesoris pakaian, jangan sampai membahayakan tubuh.

Sementara dalam kenyamanan, perhatikan sirkulasi udara pakaian, agar tak terlalu ketat pada tubuh anak, berbahan lembut, juga mudah menyerap keringat. Jangan abaikan pula model pakaian untuk anak. Usahakan untuk memilih pakaian bayi yang modelnya sederhana dan mudah dikenakan.

Umumnya para ibu hanya menggesekkan kain untuk mengecek apakah kain cukup lembut atau tidak. Padahal kelembutan pakaian tak selalu menjadi satu-satunya faktor yang perlu diperhatikan saat membeli baju anak. Ada faktor pendukung lain, misalnya zat pewarna yang bisa saja luntur tanpa disadari ketika si kecil berkeringat. Zat pewarna tadi bisa dengan mudahnya masuk ke dalam tubuh bayi, baik melalui kulit maupun melalui mulut. Lalu, ada pula zat pada kaus yang bisa terhirup si kecil yang bisa mengganggu pernapasannya. Penting untuk para orangtua mengecek dan memastikan bahwa pakaian yang akan dikenakan pada bayi itu sudah memenuhi standar yang baik untuk pakaian anak-anak. Contohnya, merek pakaian Velvet Junior, pakaian bayi dan anak produksi lokal, yang baru-baru ini mendapatkan sertifikasi standar internasional Oeko Tex Standard 100 kelas 1. Uji standar internasional semacam ini penting untuk memastikan bahwa pakaian yang akan dikenakan anak-anak aman dan nyaman.

Tips membeli baju bayi:
1. Jangan beli dalam jumlah banyak di muka
Ketika Anda akan membeli persediaan pakaian untuk bayi saat mendekati hari kelahiran, usahakan membeli dengan jumlah cukup. Dalam artian, tak terlalu banyak, tak juga sedikit. Belilah dengan warna ‘aman’ atau netral. Karena Anda tak tahu pasti jenis kelamin, dan warna apa yang kira-kira pas dengannya hingga hari lahirnya, kan? Percayalah, Anda pun akan perlu alasan untuk membeli baju lagi di mal. Anda akan butuh hari libur untuk bisa jalan-jalan, bertemu ibu baru lain, mendengar anak bayi lain menangis.

2. Pikirkan kepraktisan
Tak ada alasan Anda harus membeli pakaian bayi bermerek dan berharga mahal di awal-awal kelahirannya. Bayi baru lahir akan berkembang sangat cepat. Mungkin baju-baju bayinya hanya sempat dipakai beberapa kali saja. Kebanyakan waktu, si bayi hanya akan berbaring, plus mereka akan sering buang air. Belilah pakaian dasar bayi dari produsen yang terpercaya kualitasnya dengan harga masuk akal dengan jumlah secukupnya. Lihat apakah si bayi nyaman mengenakannya, dan perhatikan tanda-tanda alergi. Lagipula, Anda mungkin akan menerima baju bayi bermerek sebagai hadiah dari teman atau saudara.

3. Ukuran
Seperti kita tahu, bayi tumbuh dengan cepatnya. Ukuran-ukuran baju pun macam-macam. Biasanya ukurannya bertuliskan, “new born”, 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan, 12 bulan, 18 bulan, 24 bulan, dan lainnya. Bahkan ada yang memberikan kisaran, misal 3-6 bulan. Untuk permulaan, Anda bisa membeli baju dengan ukuran untuk new born, lalu karena si kecil akan tumbuh cepat, Anda bisa membeli yang berukuran lebih besar. Agar Anda tak perlu membuang-buang uang untuk pakaian saja.

4. Kenyamanan
Kenyamanan sangat penting bagi bayi, juga untuk si ibu. Agar si kecil tidak repot dengan berbagai macam potongan baju dan agar mudah dipakaikan, belilah yang potongannya ‘normal’. Ada banyak pilihan pengait baju, dari kancing, velcro, risleting, dan sebagainya. Sebaiknya pilih pakaian bayi dengan pengait kancing jepret atau risleting. Karena kancing kait berpotensi tertelan, sementara velcro berpotensi mudah terbuka. Hindari pengait yang terletak di bagian punggung. Karena bayi akan lebih sering tertidur, sehingga pengait di belakang hanya akan mengganggunya. Anda juga akan butuh pakaian yang memberikan kemudahan akses untuk membuka popok. Belilah beberapa pakaian dengan bukaan di bagian bawah perut.

5. Yang perawatannya mudah
Perhatikan pula bahan yang dibeli. Meski gaun terlihat lucu pada anak-anak, namun gaun dari bahan tulle hanya akan membuat si kecil teriritasi. Pilih katun, mudah dicuci sendiri dan lebih berguna.

Kamis, 25 Juni 2009

Manis, tapi Tidak Merusak Gigi

Saat ini sekitar 95 persen penduduk dunia menderita penyakit karies atau gigi berlubang. Tiga penyebab utama gigi berlubang, yakni bakteri Mutans streptococci, air liur, dan sisa makanan.

Sisa-sisa makanan (terutama gula) yang tertinggal di sela-sela gigi akan merangsang pertumbuhan bakteri Mutans streptococci sehingga koloninya terus bertambah pada lapisan plak gigi. Bakteri tersebut dapat memfermentasi gula yang tertinggal di gigi dan menghasilkan senyawa asam yang akan menurunkan pH mulut menjadi kurang dari 5,5. Senyawa asam akan mengikis lapisan email gigi sehingga terbentuk lubang di permukaan gigi.

Xilitol berdampak positif terhadap kesehatan gigi karena dapat menghambat metabolisme pertumbuhan dan pembentukan plak gigi oleh bakteri Mutans streptococci. Xilitol diyakini dapat menunjang proses remineralisasi pada karies gigi. Hal ini dikemukakan Prof Jason Tanzer, Kepala Connecticut School of Dental Medicine.

Xilitol dinilai sebagai pemanis yang bersahabat dengan gigi. Disebut demikian tidak hanya karena xilitol mencegah kerusakan gigi dengan mengganti peran gula biasa, tetapi juga karena dapat memperbaiki kerusakan kecil pada karies gigi. Xilitol dinyatakan dapat mengurangi plak gigi yang tidak mampu diurai oleh mikroorganisme yang hidup di mulut sehingga mengakibatkan gigi berlubang.

Xilitol dinilai sebagai penemuan senyawa terhebat kedua bagi kesehatan gigi setelah fluoride, seperti diakui Dr Nigel Carter dari International Dental Health Foundation. Karena xilitol merupakan pemanis hampa kalori, bakteri Mutans streptococci tidak dapat menggunakannya sebagai sumber energi, bahkan mengancam kelangsungan hidupnya.

Selain itu, xilitol tidak dapat difermentasi sehingga tidak terbentuk senyawa asam penyebab gigi berlubang. Xilitol menjaga pH mulut tetap stabil pada pH netral (sekitar 7) sehingga dapat mencegah gigi berlubang dan merangsang produksi air liur yang kaya akan kalsium untuk mempercepat proses pembentukan kembali lapisan mineral gigi.

Manis, tapi Tidak Merusak Gigi

Saat ini sekitar 95 persen penduduk dunia menderita penyakit karies atau gigi berlubang. Tiga penyebab utama gigi berlubang, yakni bakteri Mutans streptococci, air liur, dan sisa makanan.

Sisa-sisa makanan (terutama gula) yang tertinggal di sela-sela gigi akan merangsang pertumbuhan bakteri Mutans streptococci sehingga koloninya terus bertambah pada lapisan plak gigi. Bakteri tersebut dapat memfermentasi gula yang tertinggal di gigi dan menghasilkan senyawa asam yang akan menurunkan pH mulut menjadi kurang dari 5,5. Senyawa asam akan mengikis lapisan email gigi sehingga terbentuk lubang di permukaan gigi.

Xilitol berdampak positif terhadap kesehatan gigi karena dapat menghambat metabolisme pertumbuhan dan pembentukan plak gigi oleh bakteri Mutans streptococci. Xilitol diyakini dapat menunjang proses remineralisasi pada karies gigi. Hal ini dikemukakan Prof Jason Tanzer, Kepala Connecticut School of Dental Medicine.

Xilitol dinilai sebagai pemanis yang bersahabat dengan gigi. Disebut demikian tidak hanya karena xilitol mencegah kerusakan gigi dengan mengganti peran gula biasa, tetapi juga karena dapat memperbaiki kerusakan kecil pada karies gigi. Xilitol dinyatakan dapat mengurangi plak gigi yang tidak mampu diurai oleh mikroorganisme yang hidup di mulut sehingga mengakibatkan gigi berlubang.

Xilitol dinilai sebagai penemuan senyawa terhebat kedua bagi kesehatan gigi setelah fluoride, seperti diakui Dr Nigel Carter dari International Dental Health Foundation. Karena xilitol merupakan pemanis hampa kalori, bakteri Mutans streptococci tidak dapat menggunakannya sebagai sumber energi, bahkan mengancam kelangsungan hidupnya.

Selain itu, xilitol tidak dapat difermentasi sehingga tidak terbentuk senyawa asam penyebab gigi berlubang. Xilitol menjaga pH mulut tetap stabil pada pH netral (sekitar 7) sehingga dapat mencegah gigi berlubang dan merangsang produksi air liur yang kaya akan kalsium untuk mempercepat proses pembentukan kembali lapisan mineral gigi.

Hilangkan Lingkar Hitam di Bawah Mata

Jika Anda selama ini merasa terganggu dengan lingkar hitam di sekitar mata, Anda tidak sendiri. Banyak wanita masa kini yang memiliki masalah ini. Biasanya lingkar hitam di sekitar mata itu dikaitkan dengan kurangnya waktu tidur. Selain itu ada penyebab lain, seperti faktor keturunan, anemia, kelelahan yang amat sangat, atau kekurangan cairan.

Area mata merupakan area yang amat rentan. Gerakan yang sama berulang-ulang di daerah mata, misalnya mengernyitkan mata terus-menerus dan berlangsung bertahun-tahun, akan mempercepat timbulnya garis kerutan. Karena kulitnya yang amat tipis, sebisa mungkin hindari gesekan di sekitar mata. Begitu pun ketika akan membersihkan daerah mata dari makeup, harus dibersihkan selembut mungkin. Jika di bawah mata Anda ada lingkaran hitam, kemungkinan ada saluran darah yang terpecah di dalam sehingga menimbulkan semacam memar.

Berikut adalah tips dari Monisha Bharadwaj melalui bukunya, Indian Beauty Secrets, untuk mengatasi lingkar hitam di sekitar mata. Memang ada lingkaran hitam di bawah mata yang tak bisa dihilangkan, namun Anda bisa mencoba menguranginya dengan menggunakan kentang mentah. Iris kentang, atau bagi dua kentang mentah, lalu tutup mata, dan kompres. Untuk lebih nyamannya, buatlah kantung kompres. Caranya: parut kentang mentah, masukkan ke dalam kantung-kantung kain kecil yang berpori-pori cukup besar. Kompreskan pada mata selama 15-20 menit. Lakukan ini beberapa hari sekali. Zat tepung pada kentang akan "mengangkat" kulit dan membuatnya lebih berseri untuk membuat lingkar hitam di bawah mata tak terlalu terlihat. Jika kelopak mata Anda terasa kering setelah melakukan kompres ini, oleskan minyak almon atau minyak zaitun sebelum tidur.

Bila tak ada kentang, Anda bisa menggantinya dengan apel. Apel memiliki kandungan potasium, vitamin B, vitamin C, dan tanin, yang baik untuk membantu menghilangkan lingkar hitam di bawah mata.

NAD

Kecerdasan Anak Tergantung Stimulasi Lingkungannya

Pola belajar yang diterapkan pada anak usia dini tidaklah sama dengan pola belajar pada anak usia sekolah dasar ke atas. Salah satu strategi pengajarannya adalah melalui pendidikan karakter secara holistik.

Hal itu diutarakan oleh Halimah, seorang pemerhati pendidikan anak usia dini (PAUD), Rabu (3/6) di Gresik, Jawa Timur. Halimah mengatakan, pola pendidikan tersebut melibatkan tiga aspek, yaitu mengetahui, mencintai, dan melakukan kebajikan pada anak-anak usia dini.

Menurut Halimah, program pendidikan pada anak usia dini menyangkut kemampuan tenaga pendidik. Tenaga pendidik merupakan sumber belajar dalam memahami pola belajar dan melaksanakan kegiatan belajar-mengajar.

Halimah menambahkan, semua aspek perkembangan kecerdasan anak, baik motorik kasar, motorik halus, kemampuan non-fisik, maupun kemampuan spiritualnya dapat berkembang secara pesat apabila memperoleh stimulasi lingkungan secara cukup.

"Perkembangan yang terjadi pada usia dini sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak selanjutnya," kata Halimah, yang juga mengasuh TK Mahkota di Gresik.

Rabu, 24 Juni 2009

Philip Kotler: Think Customers and You'll Be Save

Mengakhiri seminar sehari bertajuk "Marketing in Turbulent Times" pada hari Rabu (27/5), Prof Philip Kotler, yang dijuluki Bapak Marketing Modern, memberikan nasihatnya kepada para pebisnis di Indonesia: "Think customers and you'll be save". Artinya kurang lebih, rengkuhlah para pelanggan Anda supaya bisnis Anda bisa tetap berlangsung baik.

Seminar di Ballroom Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, dan diselenggarakan atas kerja sama Kompas Gramedia, Markplus Inc, dan BRI Prioritas itu berlangsung menarik. Kotler di penghujung seminar menjelaskan masa depan marketing yang akan ditandai dengan kolaborasi antara produser dan seluruh stakeholder, termasuk pelanggan tadi.

"Collaborative marketing antara lain ditandai dengan co-created experiences," kata Kotler. Ia menjelaskan, keterlibatan pelanggan dalam menghasilkan produk yang lebih baik menjadi bagian penting dari model pemasaran masa kini.

Ia mencontohkan tentang pelibatan komunitas sepeda motor. Mereka diundang oleh perusahaan tertentu untuk memberikan sumbangan pemikiran guna memperbaiki produk motor yang menjadi idola mereka itu.

"Belum semua perusahaan memasuki collaborative marketing secara utuh," ujarnya. Sebagian baru memasuki fase relationship marketing, yang sifatnya lebih menjaga hubungan antara produsen dengan konsumen. Namun ini masih lebih baik daripada sekedar transactional marketing, yang muncul pada era 50-an.

Kepada ratusan hadirin yang tampak betah mengikuti seminar dari pagi hingga petang itu, Kotler menjelaskan evolusi marketing mulai dari era 50-an sampai era 2000-an, yang ia sebut financially-driven marketing.

Masing-masing era menciptakan istilah tersendiri dalam dunia marketing, yang berlaku baik pada masanya. Tetapi selayaknya sebuah evolusi, makin ke sini makin kompleks sejalan dengan kemajuan ekonomi dan industri komunikasi.

Dalam bahasa Inggrisnya yang sangat jelas dan tidak rumit itu, Kotler, yang hari ini berusia 78 tahun, itu merumuskan pola marketing masa depan itu sebagai Marketing 3.0, yang bukunya segera diluncurkan.

Marketing nantinya tidak hanya menyentuh pikiran dan hati pelanggan, tetapi juga harus sampai pada penciptaan semangat (spirit) di antara para pelanggan. Sehingga, suatu perusahaan tidak hanya mampu membuat sekadar lebih baik atau berbeda dengan kompetitornya, tetapi juga bahkan mampu membuat perbedaan.

Kotler malam ini menghadiri jamuan makan malam (gala dinner) yang diselenggarakan oleh Kementerian Budpar. Pada kesempatan itu, Kotler akan diangkat oleh Pemerintah Indonesia sebagai Dubes Pariwisata Indonesia.

Senin, 22 Juni 2009

Jus, Tak Semua Sehat

Siapa yang tidak suka minum jus buah. Warnanya cerah dan terang, rasanya manis, dan baik untuk kesehatan. Tapi tunggu dulu, tidak semua ahli gizi berpendapat demikian. Meski jus kaya akan vitamin, tapi jangan tutup mata pada bahayanya.

Yang Boleh
Bila Anda ingin memetik manfaat dari segelas jus, para ahli gizi menyarankan Anda untuk mengonsumsi jus sayuran. Kandungan likopen dalam tomat telah diteliti mampu mengurangi risiko kanker prostat. Campuran beberapa jenis sayuran yang dijus juga menjadi sumber serat dan mengontrol rasa lapar. Selain itu, kadar gula dalam jus sayuran lebih sedikit dan hanya mengandung sedikit kalori. Cocok untuk mereka yang sedang diet.

Yang terlarang
Berhati-hatilah pada minuman yang termasuk dalam juice cocktail, juice drink atau juice flavored beverage. Ketiga jenis minuman itu biasanya hanya mengandung sedikit buah asli. Bahan utamanya adalah air, gula, dan sirup rasa buah. Jus dalam kategori ini tak lebih baik dari softdrink, yang tinggi gula dan kalori tapi rendah nutrisi. Penelitian menunjukkan minuman ini akan menyebabkan kegemukan pada anak.

Pilih-pilih buah
Bagaimana dengan jus buah murni yang tidak ditambah pemanis? Sebagian ahli berpendapat jus buah murni kaya akan vitamin C dan antioksidan untuk melawan penyakit. Masalahnya jus buah secara alami juga sudah mengandung gula dan kalori. Misalnya saja jus apel yang kadar gulanya setara dengan permen. Demikian juga dengan semangka yang mengandung banyak gula.

Bila Anda khawatir pada kandungan gula dalam jus, pilihlah jus buah delima. Meski banyak mengandung gula dan kalori, namun sangat kaya antioksidan. Riset menunjukkan delima mengandung zat yang efektif untuk melindungi fungsi otak dan mencegah kanker.

Buah-buahan dalam keluarga berry, seperti cherry, blueberry, dan cranberry, sangat disarankan karena efektif meningkatkan sistem imun tubuh. Beberapa studi juga menunjukkan buah berry mengandung anti peradangan dan anti kanker. Minum jus cherry sebelum dan setelah berolahraga bisa mengurangi rasa sakit pada otot akibat aktivitas fisik.

Bagaimana dengan jus orange yang jadi favorit banyak orang? Kabar baik, jeruk merupakan sumber vitamin C, yang merupakan juara dalam meningkatkan sistem imun. Tak cuma itu, orange juice juga mengandung kalsium dan vitamin D untuk menguatkan tulang. Sangat disarankan bila Anda mengurangi gula saat membuat jus ini.

Konflik Terjadi karena Tidak Ada Keadilan

Banyaknya konflik yang pernah terjadi di beberapa wilayah Indonesia disebabkan oleh ketidakadilan di masyarakat dalam bidang politik dan ekonomi.

"Semua itu karena ketidakadilan sehingga terjadi konflik," ungkap Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga calon presiden dalam pilpres mendatang saat berbicara dalam acara "Dialog Perdamaian, Membangun Perdamaian Nusantara untuk Indonesia Mandiri" di Gedung Usmar Ismail Jakarta, Selasa (23/6). Ikut hadir para tokoh dari beberapa daerah yang ikut dalam proses perdamaian di sejumlah konflik di Indonesia.

JK mengatakan, cita-cita Indonesia untuk menciptakan masyarakat sejahtera hanya akan terwujud jika ada kedamaian, rasa aman, dan keadilan. "Saya ingin masyarakat kembali tertawa," ujarnya.

Dalam acara tersebut, ia menceritakan bagaimana dirinya bekerja dalam menyelesaikan konflik di Poso, Aceh, dan Ambon. Semua konflik di daerah-daerah itu menyebabkan terjadinya pengungsian dalam jumlah besar. Masalah pengungsian tidak bisa diselesaikan jika konflik masih terjadi.

Oleh karena itu, JK menuturkan, ia pertama-tama menemui para pihak yang bertikai dan memberi tiga opsi kepada mereka. "Peluru yang lebih banyak, tambah pasukan, atau berbicara dengan saya," tuturnya. Dari situlah pembicaraan dalam penyelesaian konflik dimulai.

Dalam kasus Aceh, pemerataan ekonomi harus diupayakan agar konflik yang pernah terjadi puluhan tahun di wilayah itu tidak terulang kembali. "Keadilan ekonomi harus terjadi supaya perdamaian dan kesejahteraan bisa terwujud," tuturnya.

Sementara itu, untuk wilayah Poso, lanjutnya, perekonomian harus digerakkan lewat sektor perkebunan dan perikanan. "Saya usulkan masuknya listrik supaya industri bisa berjalan," katanya.

Minggu, 21 Juni 2009

Pengaruh membaca terhadap perkembangan anak

Cerita atau bacaan yang dibaca oleh anak kita saat ini akan memengaruhi karakternya 25 tahun kemudian, apakah si anak itu cerdik, jujur, licik, serta berbagai karakter lain yang baik atau buruk dalam dirinya.

Untuk itulah, orang tua perlu pandai-pandai dan bijaksana memilihkan bacaan untuk anaknya. Demikian teori David McClelland tersebut dilontarkan oleh Renny Yaniar, Pemimpin Redaksi Majalah Anak Mombi, dalam diskusi 'Cerita Rakyat Memperkaya Dunia Dongeng Anak', Sabtu (21/6), di Jakarta.

Renny menambahkan, untuk teorinya itu McClelland mengambil sampel Inggris dan Spanyol, dua negara raksasa di awal abad ke-16. Dalam perkembangan selanjutnya, ujar Renny, Inggris terus menjadi negara maju, sebaliknya Spanyol malah mengalami kemunduran.

"Mengapa bisa begitu ternyata McClelland, psikolog asal Universitas Harvard, itu mendasari penyebabnya bahwa persoalan karakter anak-anak sebagai generasi penerus bangsanya adalah berlatar dari apa yang mereka baca," ujar Renny.

Menurut McClelland, lanjut Renny, cerita dan dongeng-dongeng yang berkembang di Inggris pada masa-masa itu mengandung nilai-nilai optimisme yang tinggi (need for achievement), keberanian untuk mengubah nasib, serta sikap tidak gampang menyerah.

"Dongeng-dongeng itu ternyata telah menjadi virus yang mampu membuat anak-anak sebagai penikmatnya dipengaruhi sindroma ingin terus maju dan terus berprestasi tanpa kenal menyerah," ujar Renny. "Sebaliknya, umumnya dongeng di Spanyol kebanyakan mengandung nilai-nilai komedi berunsur kecerdikan yang licik dan penuh tipu daya, seperti kisah si Kancil," tambahnya.

Untuk itulah, Renny mengisyarakatkan perlunya orang tua zaman sekarang memilih bacaan yang baik untuk putra-putrinya, khususnya yang masih berusia dini. Cerita Rakyat, lanjut Renny, merupakan satu dari sekian banyak bacaan yang perlu menjadi pilihan bagi orang tua.

"Cerita rakyat itu imajinatif sehingga sangat baik untuk mengembangkan daya berpikir si anak, apalagi di dalamnya penuh mengandung pesan yang baik soal kejujuran, pantang menyerah, hormat kepada orang dan lain-lain yang selalu bersifat positif," ujar Renny.

Jumat, 19 Juni 2009

KKN

UGM
Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam
Nomor Dokumen:
FMIPA.A.06.MP.06
Halaman 1 dari 3 hal.
No pengesahan : 01
Edisi : 01
KULAH KERJA NYATA
Tanggal : 05-12-2006
1. TUJUAN
Prosedur ini menjelaskan tentang pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata mahasiswa di FMIPA. Hal
ini akan menjamin agar pelaksanaan KKN dapat berjalan dengan lancar.
2. RUANG LINGKUP
Prosedur ini mencakup proses KKN yang dilakukan oleh mahasiswa mulai dari pendaftaran
sampai pelaksanaan KKN yang banyak melibatkan institusi di lingkungan UGM
3. DOKUMEN RUJUKAN
Nomer dokumen Judul Dokumen
Panduan Akademik FMIPA
4. TERMINOLOGI DAN GLOSARI
LPPM : Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat
KKN : Kuliah Kerja Nyata
GMC : Gadjah Mada Medical Centre
5. TANGGUNG JAWAB
Dekan dan Wakil Dekan bidang Akademik dan Penelitian bertanggungjawab agar prosedur
ini dapat diikuti secara benar
6. PROSES TERPERINCI
Tindakan Penanggungjawab
6.1 Mulai
6.2 Pembayaran beaya KKN
Mahasiswa yang telah menyelesaikan minimal 110 SKS dapat
mendaftarkan diri untuk mengikuti KKN dengan membayar
beaya KKN ke Bank yang telah ditunjuk.
Mahasiswa
6.3 Pemeriksaaan Kesehatan
Mahasiswa yang akan mengikuti KKN melaksanakan
pemeriksaan kesehatan di GMC dengan menunjukkan kwitansi
pembayaran beaya KKN
GMC
6.4 Pengisian borang KKN
Mahasiswa mengisi borang KKN yang disediakan oleh sie
Akademik FMIPA UGM dan selanjutnya diserahkan kepada
LPPM
Sie Akademik FMIPA
6.5 Pemrosesan data mahasiswa KKN
LPPM mengolah data mahasiswa KKN dan hasilnya akan
diserahkan kembali ke sie Akademik FMIPA yang berisi
informasi jadwal pembekalan dan lokasi KKN masing-masing
mahasiswa
LPPM
6.6 Pengumuman Jadwal dan lokasi KKN
Sie Akademik FMIPA UGM mengumumkan jadwal dan lokasi
KKN serta pembekalannya
Sie Akademik FMIPA
6.7 Pelaksanaan KKN LPPM
UGM
Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam
Nomor Dokumen:
FMIPA.A.06.MP.06
Halaman 2 dari 3 hal.
No pengesahan : 01
Edisi : 01
KULAH KERJA NYATA
Tanggal : 05-12-2006
Tindakan Penanggungjawab
Mahasiswa melakasanakan KKN di bawah koordinasi LPPM
6.8 Selesai
7. DIAGRAM ALIR
Mulai
Pembayaran beaya KKN
Pengisian borang KKN
Pemrosesan data mahasiswa
KKN
6.1
6.2
6.3
6.4
Pengumuman Jadwal dan
lokasi KKN
6.5
Selesai
6.6
Pemeriksaaan Kesehatan
6.8
Pelaksanaan KKN 6.7
UGM
Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam
Nomor Dokumen:
FMIPA.A.06.MP.06
Halaman 3 dari 3 hal.
No pengesahan : 01
Edisi : 01
KULAH KERJA NYATA
Tanggal : 05-12-2006
8. LAPORAN KUALITAS
No. Kode dokumen, Judul Dokumen
dan Ringkasan Laporan
Tempat penyimpanan
dokumen
Tanggung-jawab
1.
2.
3.
4.
9. CATATAN REVISI
No
revisi
No Bab Uraian pindahan Disyahkan oleh Tanggal
pengesahan
00 - - RKF 05-12-2006

Selasa, 16 Juni 2009

POETRY

Poetry
From Wikipedia, the free encyclopedia
Jump to: navigation, search
"Poems" redirects here. For other uses, see Poems (disambiguation).
This article is about the art form. For the magazine, see Poetry (magazine).
For a topical guide to this subject, see Outline of poetry.
Literature

Major forms
Novel • Poem • Drama
Short story • Novella

Genres

Epic • Lyric • Drama
Romance • Satire
Tragedy • Comedy
Tragicomedy

Media
Performance (play) • Book

Techniques
Prose • Verse

History and lists
Basic topics • Literary terms
History • Modern history
Books • Writers
Literary awards • Poetry awards

Discussion
Criticism • Theory • Magazines



"Quatrain on Heavenly Mountain," by China's Emperor Gaozong


"Do Not Stand at My Grave and Weep," by Mary Elizabeth Frye, 1932
Poetry (from the Greek "ποίησις", poiesis, a "making") is a form of literary art in which language is used for its aesthetic and evocative qualities in addition to, or in lieu of, its apparent meaning. Poetry may be written independently, as discrete poems, or may occur in conjunction with other arts, as in poetic drama, hymns or lyrics.
Poetry, and discussions of it, have a long history. Early attempts to define poetry, such as Aristotle's Poetics, focused on the uses of speech in rhetoric, drama, song and comedy.[1] Later attempts concentrated on features such as repetition, verse form and rhyme, and emphasized the aesthetics which distinguish poetry from prose.[2] From the mid-20th century, poetry has sometimes been more loosely defined as a fundamental creative act using language.[3]
Poetry often uses particular forms and conventions to suggest alternative meanings in the words, or to evoke emotional or sensual responses. Devices such as assonance, alliteration, onomatopoeia and rhythm are sometimes used to achieve musical or incantatory effects. The use of ambiguity, symbolism, irony and other stylistic elements of poetic diction often leaves a poem open to multiple interpretations. Similarly, metaphor, simile and metonymy[4] create a resonance between otherwise disparate images—a layering of meanings, forming connections previously not perceived. Kindred forms of resonance may exist, between individual verses, in their patterns of rhyme or rhythm.
Some forms of poetry are specific to particular cultures and genres, responding to the characteristics of the language in which the poet writes. While readers accustomed to identifying poetry with Dante, Goethe, Mickiewicz and Rumi may think of it as being written in rhyming lines and regular meter, there are traditions, such as those of Du Fu and Beowulf, that use other approaches to achieve rhythm and euphony. Much of modern British and American poetry is to some extent a critique of poetic tradition,[5] playing with and testing (among other things) the principle of euphony itself, to the extent that sometimes it deliberately does not rhyme or keep to set rhythms at all.[6][7][8] In today's globalized world, poets often borrow styles, techniques and forms from diverse cultures and languages.
Contents
[hide]
• 1 History
o 1.1 Western traditions
o 1.2 20th-century disputes
• 2 Elements of Poetry
o 2.1 Prosody
 2.1.1 Rhythm
 2.1.2 Meter
 2.1.3 Metrical patterns
o 2.2 Rhyme, alliteration, assonance
 2.2.1 Rhyming schemes
 2.2.1.1 Ottava rima
 2.2.1.2 Dante and terza rima
o 2.3 Form
 2.3.1 Lines and stanzas
 2.3.2 Visual presentation
o 2.4 Diction
• 3 Forms
o 3.1 Sonnets
o 3.2 Jintishi
o 3.3 Sestina
o 3.4 Villanelle
o 3.5 Pantoum
o 3.6 Rondeau
o 3.7 Tanka
o 3.8 Haiku
o 3.9 Ruba'i
o 3.10 Sijo
o 3.11 Ode
o 3.12 Ghazal
o 3.13 Acrostic
o 3.14 Canzone
o 3.15 Cinquain
o 3.16 Other forms
• 4 Genres
o 4.1 Narrative poetry
o 4.2 Epic poetry
o 4.3 Dramatic poetry
o 4.4 Satirical poetry
o 4.5 Lyric poetry
o 4.6 Elegy
o 4.7 Verse fable
o 4.8 Prose poetry
• 5 See also
• 6 Notes
• 7 References
o 7.1 Anthologies
o 7.2 Scansion and form
o 7.3 Critical and historical works
o 7.4 Linguistics and language
o 7.5 Other works

[edit] History
Main articles: History of poetry and Literary theory


The Deluge tablet of the Gilgamesh epic in Akkadian, circa 2nd millennium BC.
Poetry as an art form may predate literacy.[9] Many ancient works, from the Indian Vedas (1700–1200 BC) and Zoroaster's Gathas (1200-900 BC) to the Odyssey (800–675 BC), appear to have been composed in poetic form to aid memorization and oral transmission, in prehistoric and ancient societies.[10] Poetry appears among the earliest records of most literate cultures, with poetic fragments found on early monoliths, runestones and stelae.
The oldest surviving poem is the Epic of Gilgamesh, from the 3rd millennium BC in Sumer (in Mesopotamia, now Iraq), which was written in cuneiform script on clay tablets and, later, papyrus.[11] Other ancient epic poetry includes the Greek epics Iliad and Odyssey, the Old Iranian books the Gathic Avesta and Yasna, the Roman national epic, Virgil's Aeneid, and the Indian epics Ramayana and Mahabharata.
The efforts of ancient thinkers to determine what makes poetry distinctive as a form, and what distinguishes good poetry from bad, resulted in "poetics"—the study of the aesthetics of poetry. Some ancient societies, such as the Chinese through the Shi Jing, one of the Five Classics of Confucianism, developed canons of poetic works that had ritual as well as aesthetic importance. More recently, thinkers have struggled to find a definition that could encompass formal differences as great as those between Chaucer's Canterbury Tales and Matsuo Bashō's Oku no Hosomichi, as well as differences in context spanning Tanakh religious poetry, love poetry, and rap.[12]
Context can be critical to poetics and to the development of poetic genres and forms. Poetry that records historic events in epics, such as Gilgamesh or Ferdowsi's Shahnameh,[13] will necessarily be lengthy and narrative, while poetry used for liturgical purposes (hymns, psalms, suras and hadiths) is likely to have an inspirational tone, whereas elegy and tragedy are meant to evoke deep emotional responses. Other contexts include Gregorian chants, formal or diplomatic speech,[14] political rhetoric and invective,[15] light-hearted nursery and nonsense rhymes, and even medical texts.[16]
The Polish historian of aesthetics, Władysław Tatarkiewicz, in a paper on "The Concept of Poetry," traces the evolution of what is in fact two concepts of poetry. Tatarkiewicz points out that the term is applied to two distinct things that, as the poet Paul Valéry observes, "at a certain point find union. Poetry [...] is an art based on language. But poetry also has a more general meaning [...] that is difficult to define because it is less determinate: poetry expresses a certain state of mind." [17]
[edit] Western traditions


Aristotle


John Keats
Classical thinkers employed classification as a way to define and assess the quality of poetry. Notably, the existing fragments of Aristotle's Poetics describe three genres of poetry—the epic, the comic, and the tragic—and develop rules to distinguish the highest-quality poetry in each genre, based on the underlying purposes of the genre.[18] Later aestheticians identified three major genres: epic poetry, lyric poetry and dramatic poetry, treating comedy and tragedy as subgenres of dramatic poetry.
Aristotle's work was influential throughout the Middle East during the Islamic Golden Age,[19] as well as in Europe during the Renaissance.[20] Later poets and aestheticians often distinguished poetry from, and defined it in opposition to, prose, which was generally understood as writing with a proclivity to logical explication and a linear narrative structure.[21]
This does not imply that poetry is illogical or lacks narration, but rather that poetry is an attempt to render the beautiful or sublime without the burden of engaging the logical or narrative thought process. English Romantic poet John Keats termed this escape from logic, "Negative Capability."[22] This "romantic" approach views form as a key element of successful poetry because form is abstract and distinct from the underlying notional logic. This approach remained influential into the twentieth century.
During this period, there was also substantially more interaction among the various poetic traditions, in part due to the spread of European colonialism and the attendant rise in global trade. In addition to a boom in translation, during the Romantic period numerous ancient works were rediscovered.
[edit] 20th-century disputes


Archibald MacLeish
Some 20th-century literary theorists, relying less on the opposition of prose and poetry, focused on the poet as simply one who creates using language, and poetry as what the poet creates. The underlying concept of the poet as creator is not uncommon, and some modernist poets essentially do not distinguish between the creation of a poem with words, and creative acts in other media such as carpentry.[23] Yet other modernists challenge the very attempt to define poetry as misguided, as when Archibald MacLeish concludes his paradoxical poem, "Ars Poetica," with the lines: "A poem should not mean / but be."[24]
Disputes over the definition of poetry, and over poetry's distinction from other genres of literature, have been inextricably intertwined with the debate over the role of poetic form. The rejection of traditional forms and structures for poetry that began in the first half of the twentieth century coincided with a questioning of the purpose and meaning of traditional definitions of poetry and of distinctions between poetry and prose, particularly given examples of poetic prose and prosaic poetry. Numerous modernist poets have written in non-traditional forms or in what traditionally would have been considered prose, although their writing was generally infused with poetic diction and often with rhythm and tone established by non-metrical means.[25] While there was a substantial formalist reaction within the modernist schools to the breakdown of structure, this reaction focused as much on the development of new formal structures and syntheses as on the revival of older forms and structures.[26]
More recently, postmodernism has fully embraced MacLeish's concept and come to regard the boundaries between prose and poetry, and also among genres of poetry, as having meaning only as cultural artifacts. Postmodernism goes beyond modernism's emphasis on the creative role of the poet, to emphasize the role of the reader of a text (Hermeneutics), and to highlight the complex cultural web within which a poem is read.[27] Today, throughout the world, poetry often incorporates poetic form and diction from other cultures and from the past, further confounding attempts at definition and classification that were once sensible within a tradition such as the Western canon.
[edit] Elements of Poetry
[edit] Prosody
Main article: Meter (poetry)
Prosody is the study of the meter, rhythm, and intonation of a poem. Rhythm and meter, although closely related, should be distinguished.[28] Meter is the definitive pattern established for a verse (such as iambic pentameter), while rhythm is the actual sound that results from a line of poetry. Thus, the meter of a line may be described as being "iambic", but a full description of the rhythm would require noting where the language causes one to pause or accelerate and how the meter interacts with other elements of the language. Prosody also may be used more specifically to refer to the scanning of poetic lines to show meter.
[edit] Rhythm
Main articles: Timing (linguistics), tone (linguistics), and pitch accent
See also Parallelism, inflection, intonation, foot


Robinson Jeffers
The methods for creating poetic rhythm vary across languages and between poetic traditions. Languages are often described as having timing set primarily by accents, syllables, or moras, depending on how rhythm is established, though a language can be influenced by multiple approaches.[29] Japanese is a mora-timed language. Syllable-timed languages include Latin, Catalan, French, Leonese, Galician and Spanish. English, Russian and, generally, German are stress-timed languages. Varying intonation also affects how rhythm is perceived. Languages also can rely on either pitch, such as in Vedic or ancient Greek, or tone. Tonal languages include Chinese, Vietnamese, Lithuanian, and most subsaharan languages.[30]
Metrical rhythm generally involves precise arrangements of stresses or syllables into repeated patterns called feet within a line. In Modern English verse the pattern of stresses primarily differentiate feet, so rhythm based on meter in Modern English is most often founded on the pattern of stressed and unstressed syllables (alone or elided). In the classical languages, on the other hand, while the metrical units are similar, vowel length rather than stresses define the meter. Old English poetry used a metrical pattern involving varied numbers of syllables but a fixed number of strong stresses in each line.[31]
The chief device of ancient Hebrew Biblical poetry, including many of the psalms, was parallelism, a rhetorical structure in which successive lines reflected each other in grammatical structure, sound structure, notional content, or all three. Parallelism lent itself to antiphonal or call-and-response performance, which could also be reinforced by intonation. Thus, Biblical poetry relies much less on metrical feet to create rhythm, but instead creates rhythm based on much larger sound units of lines, phrases and sentences. Some classical poetry forms, such as Venpa of the Tamil language, had rigid grammars (to the point that they could be expressed as a context-free grammar) which ensured a rhythm.[32] In Chinese poetry, tones as well as stresses create rhythm. Classical Chinese poetics identifies four tones: the level tone, rising tone, falling tone, and entering tone. Note that other classifications may have as many as eight tones for Chinese and six for Vietnamese.
The formal patterns of meter used in Modern English verse to create rhythm no longer dominate contemporary English poetry. In the case of free verse, rhythm is often organized based on looser units of cadence than a regular meter. Robinson Jeffers, Marianne Moore, and William Carlos Williams are three notable poets who reject the idea that regular accentual meter is critical to English poetry.[33] Jeffers experimented with sprung rhythm as an alternative to accentual rhythm.[34]
[edit] Meter
Main articles: Scansion and Systems of scansion


Homer
In the Western poetic tradition, meters are customarily grouped according to a characteristic metrical foot and the number of feet per line. Thus, "iambic pentameter" is a meter comprising five feet per line, in which the predominant kind of foot is the "iamb." This metric system originated in ancient Greek poetry, and was used by poets such as Pindar and Sappho, and by the great tragedians of Athens. Similarly, "dactylic hexameter," comprises six feet per line, of which the dominant kind of foot is the "dactyl." Dactylic hexameter was the traditional meter of Greek epic poetry, the earliest extant examples of which are the works of Homer and Hesiod. More recently, iambic pentameter and dactylic hexameter have been used by William Shakespeare and Henry Wadsworth Longfellow, respectively.
Meter is often scanned based on the arrangement of "poetic feet" into lines.[35] In English, each foot usually includes one syllable with a stress and one or two without a stress. In other languages, it may be a combination of the number of syllables and the length of the vowel that determines how the foot is parsed, where one syllable with a long vowel may be treated as the equivalent of two syllables with short vowels. For example, in ancient Greek poetry, meter is based solely on syllable duration rather than stress. In some languages, such as English, stressed syllables are typically pronounced with greater volume, greater length, and higher pitch, and are the basis for poetic meter. In ancient Greek, these attributes were independent of each other; long vowels and syllables including a vowel plus more than one consonant actually had longer duration, approximately double that of a short vowel, while pitch and stress (dictated by the accent) were not associated with duration and played no role in the meter. Thus, a dactylic hexameter line could be envisioned as a musical phrase with six measures, each of which contained either a half note followed by two quarter notes (i.e. a long syllable followed by two short syllables), or two half notes (i.e. two long syllables); thus, the substitution of two short syllables for one long syllable resulted in a measure of the same length. Such substitution in a stress language, such as English, would not result in the same rhythmic regularity. In Anglo-Saxon meter, the unit on which lines are built is a half-line containing two stresses rather than a foot.[36] Scanning meter can often show the basic or fundamental pattern underlying a verse, but does not show the varying degrees of stress, as well as the differing pitches and lengths of syllables.[37]
As an example of how a line of meter is defined, in English-language iambic pentameter, each line has five metrical feet, and each foot is an iamb, or an unstressed syllable followed by a stressed syllable. When a particular line is scanned, there may be variations upon the basic pattern of the meter; for example, the first foot of English iambic pentameters is quite often inverted, meaning that the stress falls on the first syllable.[38] The generally accepted names for some of the most commonly used kinds of feet include:


One of Henry Holiday's illustrations to Lewis Carroll's The Hunting of the Snark, which is written predominantly in anapestic tetrameter: "In the midst of the word he was trying to say / In the midst of his laughter and glee / He had softly and suddenly vanished away / For the snark was a boojum, you see."
• iamb – one unstressed syllable followed by a stressed syllable
• trochee – one stressed syllable followed by an unstressed syllable
• dactyl – one stressed syllable followed by two unstressed syllables
• anapest – two unstressed syllables followed by one stressed syllable
• spondee – two stressed syllables together
• pyrrhic – two unstressed syllables together (rare, usually used to end dactylic hexameter)
The number of metrical feet in a line are described in Greek terminology as follows:
• dimeter – two feet
• trimeter – three feet
• tetrameter – four feet
• pentameter – five feet
• hexameter – six feet
• heptameter – seven feet
• octameter – eight feet
There are a wide range of names for other types of feet, right up to a choriamb of four syllable metric foot with a stressed syllable followed by two unstressed syllables and closing with a stressed syllable. The choriamb is derived from some ancient Greek and Latin poetry. Languages which utilize vowel length or intonation rather than or in addition to syllabic accents in determining meter, such as Ottoman Turkish or Vedic, often have concepts similar to the iamb and dactyl to describe common combinations of long and short sounds.
Each of these types of feet has a certain "feel," whether alone or in combination with other feet. The iamb, for example, is the most natural form of rhythm in the English language, and generally produces a subtle but stable verse.[39] The dactyl, on the other hand, almost gallops along. And, as readers of The Night Before Christmas or Dr. Seuss realize, the anapest is perfect for a light-hearted, comic feel.[40]
There is debate over how useful a multiplicity of different "feet" is in describing meter. For example, Robert Pinsky has argued that while dactyls are important in classical verse, English dactylic verse uses dactyls very irregularly and can be better described based on patterns of iambs and anapests, feet which he considers natural to the language.[41] Actual rhythm is significantly more complex than the basic scanned meter described above, and many scholars have sought to develop systems that would scan such complexity. Vladimir Nabokov noted that overlaid on top of the regular pattern of stressed and unstressed syllables in a line of verse was a separate pattern of accents resulting from the natural pitch of the spoken words, and suggested that the term "scud" be used to distinguish an unaccented stress from an accented stress.[42]
[edit] Metrical patterns
Main article: Meter (poetry)
Different traditions and genres of poetry tend to use different meters, ranging from the Shakespearian iambic pentameter and the Homeric dactylic hexameter to the Anapestic tetrameter used in many nursery rhymes. However, a number of variations to the established meter are common, both to provide emphasis or attention to a given foot or line and to avoid boring repetition. For example, the stress in a foot may be inverted, a caesura (or pause) may be added (sometimes in place of a foot or stress), or the final foot in a line may be given a feminine ending to soften it or be replaced by a spondee to emphasize it and create a hard stop. Some patterns (such as iambic pentameter) tend to be fairly regular, while other patterns, such as dactylic hexameter, tend to be highly irregular. Regularity can vary between language. In addition, different patterns often develop distinctively in different languages, so that, for example, iambic tetrameter in Russian will generally reflect a regularity in the use of accents to reinforce the meter, which does not occur or occurs to a much lesser extent in English.[43]


Alexander Pushkin
Some common metrical patterns, with notable examples of poets and poems who use them, include:
• Iambic pentameter (John Milton, Paradise Lost[44])
• Dactylic hexameter (Homer, Iliad;[45], Virgil, Aeneid; Ovid, Metamorphoses)
• Iambic tetrameter (Andrew Marvell, "To His Coy Mistress"; Aleksandr Pushkin, Eugene Onegin)[46]
• Trochaic octameter (Edgar Allan Poe, "The Raven")[47]
• Anapestic tetrameter (Lewis Carroll, "The Hunting of the Snark";[48] Lord Byron, Don Juan)[49]
• Alexandrine (Jean Racine, Phèdre)[50]
[edit] Rhyme, alliteration, assonance
Main articles: Rhyme, Alliterative verse, and Assonance


The Old English epic poem Beowulf is written in alliterative verse and in paragraph form, not separated into lines or stanzas.
Rhyme, alliteration, assonance and consonance are ways of creating repetitive patterns of sound. They may be used as an independent structural element in a poem, to reinforce rhythmic patterns, or as an ornamental element.[51]
Rhyme consists of identical ("hard-rhyme") or similar ("soft-rhyme") sounds placed at the ends of lines or at predictable locations within lines ("internal rhyme").[52] Languages vary in the richness of their rhyming structures; Italian, for example, has a rich rhyming structure permitting maintenance of a limited set of rhymes throughout a lengthy poem. The richness results from word endings that follow regular forms. English, with its irregular word endings adopted from other languages, is less rich in rhyme.[53] The degree of richness of a language's rhyming structures plays a substantial role in determining what poetic forms are commonly used in that language.
Alliteration and assonance played a key role in structuring early Germanic, Norse and Old English forms of poetry. The alliterative patterns of early Germanic poetry interweave meter and alliteration as a key part of their structure, so that the metrical pattern determines when the listener expects instances of alliteration to occur. This can be compared to an ornamental use of alliteration in most Modern European poetry, where alliterative patterns are not formal or carried through full stanzas.[54] Alliteration is particularly useful in languages with less rich rhyming structures. Assonance, where the use of similar vowel sounds within a word rather than similar sounds at the beginning or end of a word, was widely used in skaldic poetry, but goes back to the Homeric epic. Because verbs carry much of the pitch in the English language, assonance can loosely evoke the tonal elements of Chinese poetry and so is useful in translating Chinese poetry. Consonance occurs where a consonant sound is repeated throughout a sentence without putting the sound only at the front of a word. Consonance provokes a more subtle effect than alliteration and so is less useful as a structural element.
In 'A Linguistic Guide to English Poetry' (Longmans, 1969) Geoffrey Leech identified six different types of sound patterns or rhyme forms. These are defined as six possible ways in which either one or two of the structural parts of the related words can vary. The unvarying parts are in upper case/bold. C symbolises a consonant cluster, not a single consonant, V a vowel:
1) Alliteration: C v c great/grow send/sit
2) Assonance: c V c great/fail send/bell
3) Consonance: c v C great/meat send/hand
4) Reverse Rhyme: C V c great/grazed send/sell
5) Pararhyme: C v C great/groat send/sound
6) Rhyme: c V C great/bait send/end
[edit] Rhyming schemes
Main article: Rhyme scheme


Dante and Beatrice see God as a point of light surrounded by angels; from Gustave Doré's illustrations to the Divine Comedy, Paradiso, Canto 28.
In many languages, including modern European languages and Arabic, poets use rhyme in set patterns as a structural element for specific poet forms, such as ballads, sonnets and rhyming couplets. However, the use of structural rhyme is not universal even within the European tradition. Much modern poetry avoids traditional rhyme schemes. Classical Greek and Latin poetry did not use rhyme. Rhyme entered European poetry in the High Middle Ages, in part under the influence of the Arabic language in Al Andalus (modern Spain).[55] Arabic language poets used rhyme extensively from the first development of literary Arabic in the sixth century, as in their long, rhyming qasidas. Some rhyming schemes have become associated with a specific language, culture or period, while other rhyming schemes have achieved use across languages, cultures or time periods. Some forms of poetry carry a consistent and well-defined rhyming scheme, such as the chant royal or the rubaiyat, while other poetic forms have variable rhyme schemes.
Most rhyme schemes are described using letters that correspond to sets of rhymes, so if the first, second and fourth lines of a quatrain rhyme with each other and the third line does not rhyme, the quatrain is said to have an "a-a-b-a" rhyme scheme. This rhyme scheme is the one used, for example, in the rubaiyat form.[56] Similarly, an "a-b-b-a" quatrain (what is known as "enclosed rhyme") is used in such forms as the Petrarchan sonnet.[57] Some types of more complicated rhyming schemes have developed names of their own, separate from the "a-b-c" convention, such as the ottava rima and terza rima. The types and use of differing rhyming schemes is discussed further in the main article.
[edit] Ottava rima
Ottava rima is a rhyming scheme using a stanza of eight lines with an alternating a-b rhyming scheme for the first six lines followed by a closing couplet. First used by Boccaccio, it was developed for heroic epics but has also been used for mock-heroic poetry.
[edit] Dante and terza rima
Dante's Divine Comedy[58] is written in terza rima, where each stanza has three lines, with the first and third rhyming, and the second line rhyming with the first and third lines of the next stanza (thus, a-b-a / b-c-b / c-d-c, et cetera.) in a chain rhyme. The terza rima provides a flowing, progressive sense to the poem, and used skilfully it can evoke a sense of motion, both forward and backward. Terza rima is appropriately used in lengthy poems in languages with rich rhyming schemes (such as Italian, with its many common word endings).[59]
[edit] Form


Anwar Masood, Punjabi poet
Poetic form is more flexible in modernist and post-modernist poetry, and continues to be less structured than in previous literary eras. Many modern poets eschew recognisable structures or forms, and write in free verse. But poetry remains distinguished from prose by its form; some regard for basic formal structures of poetry will be found in even the best free verse, however much it may appear to have been ignored. Similarly, in the best poetry written in the classical style there will be departures from strict form for emphasis or effect. Among the major structural elements often used in poetry are the line, the stanza or verse paragraph, and larger combinations of stanzas or lines such as cantos. The broader visual presentation of words and calligraphy can also be utilized. These basic units of poetic form are often combined into larger structures, called poetic forms or poetic modes (see following section), such as in the sonnet or haiku.
[edit] Lines and stanzas
Poetry is often separated into lines on a page. These lines may be based on the number of metrical feet, or may emphasize a rhyming pattern at the ends of lines. Lines may serve other functions, particularly where the poem is not written in a formal metrical pattern. Lines can separate, compare or contrast thoughts expressed in different units, or can highlight a change in tone. See the article on line breaks for information about the division between lines.
Lines of poems are often organized into stanzas, which are denominated by the number of lines included. Thus a collection of two lines is a couplet (or distich), three lines a triplet (or tercet), four lines a quatrain, five lines a quintain (or cinquain), six lines a sestet, and eight lines an octet. These lines may or may not relate to each other by rhyme or rhythm. For example, a couplet may be two lines with identical meters which rhyme or two lines held together by a common meter alone. Stanzas often have related couplets or triplets within them.


Alexander Blok's poem, "Noch, ulitsa, fonar, apteka" ("Night, street, lamp, drugstore"), on a wall in Leiden.
Other poems may be organized into verse paragraphs, in which regular rhymes with established rhythms are not used, but the poetic tone is instead established by a collection of rhythms, alliterations, and rhymes established in paragraph form. Many medieval poems were written in verse paragraphs, even where regular rhymes and rhythms were used.
In many forms of poetry, stanzas are interlocking, so that the rhyming scheme or other structural elements of one stanza determine those of succeeding stanzas. Examples of such interlocking stanzas include, for example, the ghazal and the villanelle, where a refrain (or, in the case of the villanelle, refrains) is established in the first stanza which then repeats in subsequent stanzas. Related to the use of interlocking stanzas is their use to separate thematic parts of a poem. For example, the strophe, antistrophe and epode of the ode form are often separated into one or more stanzas. In such cases, or where structures are meant to be highly formal, a stanza will usually form a complete thought, consisting of full sentences and cohesive thoughts.
In some cases, particularly lengthier formal poetry such as some forms of epic poetry, stanzas themselves are constructed according to strict rules and then combined. In skaldic poetry, the dróttkvætt stanza had eight lines, each having three "lifts" produced with alliteration or assonance. In addition to two or three alliterations, the odd numbered lines had partial rhyme of consonants with dissimilar vowels, not necessarily at the beginning of the word; the even lines contained internal rhyme in set syllables (not necessarily at the end of the word). Each half-line had exactly six syllables, and each line ended in a trochee. The arrangement of dróttkvætts followed far less rigid rules than the construction of the individual dróttkvætts.
[edit] Visual presentation
Main article: Visual poetry


Arabic poetry
Even before the advent of printing, the visual appearance of poetry often added meaning or depth. Acrostic poems conveyed meanings in the initial letters of lines or in letters at other specific places in a poem. In Arabic, Hebrew and Chinese poetry, the visual presentation of finely calligraphed poems has played an important part in the overall effect of many poems.
With the advent of printing, poets gained greater control over the mass-produced visual presentations of their work. Visual elements have become an important part of the poet's toolbox, and many poets have sought to use visual presentation for a wide range of purposes. Some Modernist poetry takes this to an extreme, with the placement of individual lines or groups of lines on the page forming an integral part of the poem's composition, whether to complement the poem's rhythm through visual caesuras of various lengths, or to create juxtapositions so as to accentuate meaning, ambiguity or irony, or simply to create an aesthetically pleasing form.[60] In its most extreme form, this can lead to concrete poetry or asemic writing.[61]
[edit] Diction
Main article: Poetic diction


Illustration for the cover of Christina Rossetti's Goblin Market and Other Poems (1862), by Dante Gabriel Rossetti. Goblin Market used complex poetic diction in nursery rhyme form: "We must not look at goblin men, / We must not buy their fruits: / Who knows upon what soil they fed / Their hungry thirsty roots?"
Poetic diction treats of the manner in which language is used, and refers not only to the sound but also to the underlying meaning and its interaction with sound and form. Many languages and poetic forms have very specific poetic dictions, to the point where distinct grammars and dialects are used specifically for poetry. Registers in poetry can range from strict employment of ordinary speech patterns, as favoured in much late 20th century prosody, through to highly ornate and aureate uses of language by such as the medieval and renaissance makars.
Poetic diction can include rhetorical devices such as simile and metaphor, as well as tones of voice, such as irony.[62] Aristotle wrote in the Poetics that "the greatest thing by far is to be a master of metaphor."[63] Since the rise of Modernism, some poets have opted for a poetic diction that deemphasizes rhetorical devices, attempting instead the direct presentation of things and experiences and the exploration of tone. On the other hand, Surrealists have pushed rhetorical devices to their limits, making frequent use of catachresis.
Allegorical stories are central to the poetic diction of many cultures, and were prominent in the west during classical times, the late Middle Ages and the Renaissance.[64] Rather than being fully allegorical, however, a poem may contain symbols or allusions that deepen the meaning or effect of its words without constructing a full allegory.
Another strong element of poetic diction can be the use of vivid imagery for effect. The juxtaposition of unexpected or impossible images is, for example, a particularly strong element in surrealist poetry and haiku. Vivid images are often, as well, endowed with symbolism.
Many poetic dictions use repetitive phrases for effect, either a short phrase (such as Homer's "rosy-fingered dawn" or "the wine-dark sea") or a longer refrain. Such repetition can add a somber tone to a poem, as in many odes, or can be laced with irony as the context of the words changes. For example, in Antony's famous eulogy of Caesar in Shakespeare's Julius Caesar, Antony's repetition of the words, "For Brutus is an honorable man," moves from a sincere tone to one that exudes irony.[65]
[edit] Forms
Specific poetic forms have been developed by many cultures. In more developed, closed or "received" poetic forms, the rhyming scheme, meter and other elements of a poem are based on sets of rules, ranging from the relatively loose rules that govern the construction of an elegy to the highly formalized structure of the ghazal or villanelle. Described below are some common forms of poetry widely used across a number of languages. Additional forms of poetry may be found in the discussions of poetry of particular cultures or periods and in the glossary.
[edit] Sonnets


Shakespeare
Main article: Sonnet
Among the most common forms of poetry through the ages is the sonnet, which, by the thirteenth century, was a poem of fourteen lines following a set rhyme scheme and logical structure. The conventions associated with the sonnet have changed during its history, and so there are several different sonnet forms. Traditionally, English poets use iambic pentameter when writing sonnets, with the Spenserian and Shakespearean sonnets being especially notable. In the Romance languages, the hendecasyllable and Alexandrine are the most widely used meters, although the Petrarchan sonnet has been used in Italy since the 14th century. Sonnets are particularly associated with love poetry, and often use a poetic diction heavily based on vivid imagery, but the twists and turns associated with the move from octave to sestet and to final couplet make them a useful and dynamic form for many subjects. Shakespeare's sonnets are among the most famous in English poetry, with 20 being included in the Oxford Book of English Verse.[66]
[edit] Jintishi


Du Fu
Main article: Jintishi
The jintishi (近體詩) is a Chinese poetic form based on a series of set tonal patterns using the four tones of the classical Chinese language in each couplet: the level, rising, falling and entering tones. The basic form of the jintishi has eight lines in four couplets, with parallelism between the lines in the second and third couplets. The couplets with parallel lines contain contrasting content but an identical grammatical relationship between words. Jintishi often have a rich poetic diction, full of allusion, and can have a wide range of subject, including history and politics. One of the masters of the form was Du Fu, who wrote during the Tang Dynasty (8th century). There are several variations on the basic form of the jintishi.
[edit] Sestina
Main article: Sestina
The sestina has six stanzas, each comprising six unrhymed lines, in which the words at the end of the first stanza’s lines reappear in a rolling pattern in the other stanzas. The poem then ends with a three-line stanza in which the words again appear, two on each line.
[edit] Villanelle


W. H. Auden
Main article: Villanelle
The Villanelle is a nineteen-line poem made up of five triplets with a closing quatrain; the poem is characterized by having two refrains, initially used in the first and third lines of the first stanza, and then alternately used at the close of each subsequent stanza until the final quatrain, which is concluded by the two refrains. The remaining lines of the poem have an a-b alternating rhyme. The villanelle has been used regularly in the English language since the late nineteenth century by such poets as Dylan Thomas,[67] W. H. Auden,[68] and Elizabeth Bishop.[69] It is a form that has gained increased use at a time when the use of received forms of poetry has generally been declining.[citation needed]
[edit] Pantoum
Main article: Pantoum
The pantoum is a rare form of poetry similar to a villanelle. It is composed of a series of quatrains; the second and fourth lines of each stanza are repeated as the first and third lines of the next.
[edit] Rondeau
Main article: Rondeau (poetry)
The rondeau was originally a French form, written on two rhymes with fifteen lines, using the first part of the first line as a refrain.
[edit] Tanka
Main article: Waka (poetry)#Tanka


Kakinomoto no Hitomaro
Tanka is a form of unrhymed Japanese poetry, with five sections totalling 31 onji (phonological units identical to morae), structured in a 5-7-5 7-7 pattern. There is generally a shift in tone and subject matter between the upper 5-7-5 phrase and the lower 7-7 phrase. Tanka were written as early as the Nara period by such poets as Kakinomoto no Hitomaro, at a time when Japan was emerging from a period where much of its poetry followed Chinese form. Tanka was originally the shorter form of Japanese formal poetry, and was used more heavily to explore personal rather than public themes. It thus had a more informal poetic diction. By the 13th century, tanka had become the dominant form of Japanese poetry, and it is still widely written today. The 31-mora rule is generally ignored by poets writing literary tanka in languages other than Japanese.
[edit] Haiku
Main article: Haiku
Haiku is a popular form of unrhymed Japanese poetry, which evolved in the 17th century from the hokku, or opening verse of a renku. Generally written in a single vertical line, the haiku contains three sections totalling 17 onji (see above, at Tanka), structured in a 5-7-5 pattern. Traditionally, haiku contain (1) a kireji, or cutting word, usually placed at the end of one of the poem's three sections; and (2) a kigo, or season-word. The most famous exponent of the haiku was Matsuo Bashō (1644 - 1694). An example of his writing:[70]
富士の風や扇にのせて江戸土産
fuji no kaze ya oogi ni nosete Edo miyage
the wind of Mt. Fuji
I've brought on my fan!
a gift from Edo
[edit] Ruba'i
Main article: Ruba'i


Omar Khayyam
Ruba'i is a four-line verse (quatrain) practiced by Arabian, Persian, Azerbaijani (Azeri) poets. Famous for his rubaiyat (collection of quatrains) is the Persian poet Omar Khayyam. The most celebrated English renderings of the Rubaiyat of Omar Khayyam were produced by Edward Fitzgerald; an example is given below:
They say the Lion and the Lizard keep
The Courts where Jamshyd gloried and drank deep:
And Bahram, that great Hunter—the Wild Ass
Stamps o'er his Head, and he lies fast asleep.
[edit] Sijo
Main article: Sijo
Sijo is a short musical lyric practiced by Korean poets. It is usually written as three lines, each averaging 14-16 syllables, for a total of 44-46 syllables. There is a pause in the middle of each line and so, in English, a sijo is sometimes printed in six lines rather than three. An example is given below:
You ask how many friends I have? Water and stone, bamboo and pine.
The moon rising over the eastern hill is a joyful comrade.
Besides these five companions, what other pleasure should I ask?
[edit] Ode


Horace
Main article: Ode
Odes were first developed by poets writing in ancient Greek, such as Pindar,[71] and Latin, such as Horace. Forms of odes appear in many of the cultures that were influenced by the Greeks and Latins.[72] The ode generally has three parts: a strophe, an antistrophe, and an epode. The antistrophes of the ode possess similar metrical structures and, depending on the tradition, similar rhyme structures. In contrast, the epode is written with a different scheme and structure. Odes have a formal poetic diction, and generally deal with a serious subject. The strophe and antistrophe look at the subject from different, often conflicting, perspectives, with the epode moving to a higher level to either view or resolve the underlying issues. Odes are often intended to be recited or sung by two choruses (or individuals), with the first reciting the strophe, the second the antistrophe, and both together the epode. Over time, differing forms for odes have developed with considerable variations in form and structure, but generally showing the original influence of the Pindaric or Horatian ode. One non-Western form which resembles the ode is the qasida in Persian poetry.
[edit] Ghazal
Main article: Ghazal
See also: Gazel
The ghazal (Arabic: ghazal, Persian: ghazel, Turkish/Azerbaijani: gazel, Urdu: gazal, Bengali/Sylheti: gozol) is a form of poetry common in Arabic, Persian, Turkish, Azerbaijani, Urdu and Bengali poetry. In classic form, the ghazal has from five to fifteen rhyming couplets that share a refrain at the end of the second line. This refrain may be of one or several syllables, and is preceded by a rhyme. Each line has an identical meter. Each couplet forms a complete thought and stands alone, and the overall ghazal often reflects on a theme of unattainable love or divinity. The last couplet generally includes the signature of the author.
As with other forms with a long history in many languages, many variations have been developed, including forms with a quasi-musical poetic diction in Urdu. Ghazals have a classical affinity with Sufism, and a number of major Sufi religious works are written in ghazal form. The relatively steady meter and the use of the refrain produce an incantatory effect, which complements Sufi mystical themes well. Among the masters of the form is Rumi, a 13th-century Persian poet who lived in Konya, in present-day Turkey.
[edit] Acrostic
Main article: Acrostic
An acrostic (from the late Greek akróstichon, from ákros, "top", and stíchos, "verse") is a poem or other form of writing in an alphabetic script, in which the first letter, syllable or word of each line, paragraph or other recurring feature in the text spells out another message. A form of constrained writing, an acrostic can be used as a mnemonic device to aid memory retrieval. A famous acrostic was made in Greek for the acclamation JESUS CHRIST, GOD'S SON, SAVIOUR which in Greek is: Iesous KHristos, THeou Uios, Soter (kh and th being each one letter in Greek and u is also y). The initials spell IKHTHUS same as Ichthys, Greek for fish; hence the frequent use of the fish by early Christians and up to now as a symbol for Jesus Christ.[1]
[edit] Canzone
Main article: Canzone
Literally "song" in Italian, a canzone (plural: canzoni) (cognate with English to chant) is an Italian or Provençal song or ballad. It is also used to describe a type of lyric which resembles a madrigal. Sometimes a composition which is simple and songlike is designated as a canzone, especially if it is by a non-Italian; a good example is the aria "Voi che sapete" from Mozart's Marriage of Figaro.
[edit] Cinquain
Main article: Cinquain
While "quintain" is the general term applied to poetic forms using a 5-line pattern, there are specific forms within that category that are defined by specific rules and guidelines. The term "CINQUAIN" (pronounced SING-cane, the plural is "cinquains") as applied by modern poets most correctly refers to a form invented by the American poet Adelaide Crapsey. The first examples of these were published in 1915 in The Complete Poems, roughly a year after her death. Her cinquain form was inspired by Japanese haiku and Tanka (a form of Waka).
[edit] Other forms

This section requires expansion.

Other forms of poetry include:
• Carmina figurata
• Concrete poetry: Word arrangement, typeface, color or other visual effects are used to complement or dramatize the meaning of the words used; cinquains, which have five lines with two, four, six, eight, and two syllables, respectively, and free verse, which is based on the irregular rhythmic cadence or the recurrence, with variations, of phrases, images, and syntactical patterns rather than the conventional use of meter.
• Fixed verse
• Folk song
• Free verse
• Minnesang
• Murabba
• Pastourelle
• Poetry slam: This is a modern style of spoken word poetry, frequently associated with a distinctive style of delivery.
• Stev
• Yoik
[edit] Genres
In addition to specific forms of poems, poetry is often thought of in terms of different genres and subgenres. A poetic genre is generally a tradition or classification of poetry based on the subject matter, style, or other broader literary characteristics.[73] Some commentators view genres as natural forms of literature.[74] Others view the study of genres as the study of how different works relate and refer to other works.[75]
Epic poetry is one commonly identified genre, often defined as lengthy poems concerning events of a heroic or important nature to the culture of the time.[76] Lyric poetry, which tends to be shorter, melodic, and contemplative, is another commonly identified genre. Some commentators may organize bodies of poetry into further subgenres, and individual poems may be seen as a part of many different genres.[77] In many cases, poetic genres show common features as a result of a common tradition, even across cultures.
Described below are some common genres, but the classification of genres, the description of their characteristics, and even the reasons for undertaking a classification into genres can take many forms.
[edit] Narrative poetry
Main article: Narrative poetry


Chaucer
Narrative poetry is a genre of poetry that tells a story. Broadly it subsumes epic poetry, but the term "narrative poetry" is often reserved for smaller works, generally with more appeal to human interest.
Narrative poetry may be the oldest type of poetry. Many scholars of Homer have concluded that his Iliad and Odyssey were composed from compilations of shorter narrative poems that related individual episodes and were more suitable for an evening's entertainment. Much narrative poetry—such as Scots and English ballads, and Baltic and Slavic heroic poems—is performance poetry with roots in a preliterate oral tradition. It has been speculated that some features that distinguish poetry from prose, such as meter, alliteration and kennings, once served as memory aids for bards who recited traditional tales.
Notable narrative poets have included Ovid, Dante, Juan Ruiz, Chaucer, William Langland, Luís de Camões, Shakespeare, Alexander Pope, Robert Burns, Fernando de Rojas, Adam Mickiewicz, Alexander Pushkin, Edgar Allan Poe and Alfred Tennyson.
[edit] Epic poetry
Main article: Epic poetry


Valmiki
Epic poetry is a genre of poetry, and a major form of narrative literature. It recounts, in a continuous narrative, the life and works of a heroic or mythological person or group of persons. Examples of epic poems are Homer's Iliad and Odyssey, Virgil's Aeneid, the Nibelungenlied, Luís de Camões' Os Lusíadas, the Cantar de Mio Cid, the Epic of Gilgamesh, the Mahabharata, Valmiki's Ramayana, Ferdowsi's Shahnama, Nizami (or Nezami)'s Khamse (Five Books), and the Epic of King Gesar.
While the composition of epic poetry, and of long poems generally, became less common in the west after the early 20th century, some notable epics have continued to be written. Derek Walcott won a Nobel prize to a great extent on the basis of his epic, Omeros.[78]
[edit] Dramatic poetry
Main articles: Verse drama and dramatic verse, Theatre of ancient Greece, Sanskrit drama, Chinese Opera, and Noh


Goethe
Dramatic poetry is drama written in verse to be spoken or sung, and appears in varying, sometimes related forms in many cultures. Verse drama may have developed out of earlier oral epics, such as the Sanskrit and Greek epics.[79]
Greek tragedy in verse dates to the sixth century B.C., and may have been an influence on the development of Sanskrit drama,[80] just as Indian drama in turn appears to have influenced the development of the bainwen verse dramas in China, forerunners of Chinese Opera.[81] East Asian verse dramas also include Japanese Noh.
Examples of dramatic poetry in Persian literature include Nezami's two famous dramatic works, Layla and Majnun and Khosrow and Shirin,[82] Ferdowsi's tragedies such as Rostam and Sohrab, Rumi's Masnavi, Gorgani's tragedy of Vis and Ramin,[83] and Vahshi's tragedy of Farhad.
[edit] Satirical poetry
Poetry can be a powerful vehicle for satire. The punch of an insult delivered in verse can be many times more powerful and memorable than that of the same insult, spoken or written in prose. The Romans had a strong tradition of satirical poetry, often written for political purposes. A notable example is the Roman poet Juvenal's satires, whose insults stung the entire spectrum of society.


John Wilmot
The same is true of the English satirical tradition. Embroiled in the feverish politics of the time and stung by an attack on him by his former friend, Thomas Shadwell (a Whig), John Dryden (a Tory), the first Poet Laureate, produced in 1682 Mac Flecknoe, one of the greatest pieces of sustained invective in the English language, subtitled "A Satire on the True Blue Protestant Poet, T.S." In this, the late, notably mediocre poet, Richard Flecknoe, was imagined to be contemplating who should succeed him as ruler "of all the realms of Nonsense absolute" to "reign and wage immortal war on wit."


Bocage
Another master of 17th-century English satirical poetry was John Wilmot, 2nd Earl of Rochester. He was known for ruthless satires such as "A Satyr Against Mankind" (1675) and a "A Satyr on Charles II."
Another exemplar of English satirical poetry was Alexander Pope, who famously chided critics in his Essay on Criticism (1709). Dryden and Pope were writers of epic poetry, and their satirical style was accordingly epic; but there is no prescribed form for satirical poetry. The greatest satirical poets outside England include Poland's Ignacy Krasicki, Azerbaijan's Sabir and Portugal's Manuel Maria Barbosa du Bocage, commonly known as Bocage.
[edit] Lyric poetry
Main article: Lyric poetry


Christine de Pizan
Lyric poetry is a genre that, unlike epic poetry and dramatic poetry, does not attempt to tell a story but instead is of a more personal nature. Rather than depicting characters and actions, it portrays the poet's own feelings, states of mind, and perceptions. While the genre's name, derived from "lyre," implies that it is intended to be sung, much lyric poetry is meant purely for reading.
Though lyric poetry has long celebrated love, many courtly-love poets also wrote lyric poems about war and peace, nature and nostalgia, grief and loss. Notable among these are the 15th century French lyric poets, Christine de Pizan and Charles, Duke of Orléans. Spiritual and religious themes were addressed by such mystic lyric poets as St. John of the Cross and Teresa of Ávila. The tradition of lyric poetry based on spiritual experience was continued by later poets such as John Donne, Gerard Manley Hopkins, Antonio Machado and T. S. Eliot.
Though the most popular form for western lyric poetry to take may be the 14-line sonnet, as practiced by Petrarch and Shakespeare, lyric poetry shows a bewildering variety of forms, including increasingly, in the 20th century, unrhymed ones. Lyric poetry is the most common type of poetry, as it deals intricately with an author's own emotions and views.
[edit] Elegy
Main article: Elegy


Thomas Gray
An elegy is a mournful, melancholy or plaintive poem, especially a lament for the dead or a funeral song. The term "elegy," which originally denoted a type of poetic meter (elegiac meter), commonly describes a poem of mourning. An elegy may also reflect something that seems to the author to be strange or mysterious. The elegy, as a reflection on a death, on a sorrow more generally, or on something mysterious, may be classified as a form of lyric poetry. In a related sense that harks back to ancient poetic traditions of sung poetry, the word "elegy" may also denote a type of musical work, usually of a sad or somber nature.
Elegiac poetry has been written since antiquity. Notable practitioners have included Propertius (lived ca. 50 BCE – ca. 15 BCE), Jorge Manrique (1476), Jan Kochanowski (1580), Chidiock Tichborne (1586), Edmund Spenser (1595), Ben Jonson (1616), John Milton (1637), Thomas Gray (1750), Charlotte Turner Smith (1784), William Cullen Bryant (1817), Percy Bysshe Shelley (1821), Johann Wolfgang von Goethe (1823), Evgeny Baratynsky (1837), Alfred Tennyson (1849), Walt Whitman (1865), Louis Gallet (lived 1835–98), Antonio Machado (1903), Juan Ramón Jiménez (1914), William Butler Yeats (1916), Rainer Maria Rilke (1922), Virginia Woolf (1927), Federico García Lorca (1935), Kamau Brathwaite (author born 1930).
[edit] Verse fable
Main article: Fable


Ignacy Krasicki
The fable is an ancient, near-ubiquitous literary genre, often (though not invariably) set in verse. It is a succinct story that features anthropomorphized animals, plants, inanimate objects, or forces of nature that illustrate a moral lesson (a "moral"). Verse fables have used a variety of meter and rhyme patterns; Ignacy Krasicki, for example, in his Fables and Parables, used 13-syllable lines in rhyming couplets.
Notable verse fabulists have included Aesop (mid-6th century BCE), Vishnu Sarma (ca. 200 BCE), Phaedrus (15 BCE–50 CE), Marie de France (12th century), Robert Henryson (fl.1470-1500), Biernat of Lublin (1465?–after 1529), Jean de La Fontaine (1621–95), Ignacy Krasicki (1735–1801), Félix María de Samaniego (1745 – 1801), Tomás de Iriarte (1750 – 1791), Ivan Krylov (1769–1844) and Ambrose Bierce (1842–1914). All of Aesop's translators and successors owe a debt to that semi-legendary fabulist.
An example of a verse fable is Krasicki's "The Lamb and the Wolves":
Aggression ever finds cause if sufficiently pressed.
Two wolves on the prowl had trapped a lamb in the forest
And were about to pounce. Quoth the lamb: "What right have you?"
"You're toothsome, weak, in the wood." — The wolves dined sans ado.
[edit] Prose poetry
Main article: Prose poetry


Charles Baudelaire, by Gustave Courbet.
Prose poetry is a hybrid genre that shows attributes of both prose and poetry. It may be indistinguishable from the micro-story (aka the "short short story," "flash fiction"). It qualifies as poetry because of its conciseness, use of metaphor, and special attention to language.
While some examples of earlier prose strike modern readers as poetic, prose poetry is commonly regarded as having originated in 19th-century France, where its practitioners included Aloysius Bertrand, Charles Baudelaire, Arthur Rimbaud and Stéphane Mallarmé.
The genre has subsequently found notable exemplars in different languages:
• English: Oscar Wilde, T. S. Eliot, Gertrude Stein, Sherwood Anderson, Allen Ginsberg, Seamus Heaney, Russell Edson, Robert Bly, Charles Simic, Joseph Conrad
• French: Francis Ponge
• Greek: Andreas Embirikos, Nikos Engonopoulos


Julio Cortázar
• Italian: Eugenio Montale, Salvatore Quasimodo, Giuseppe Ungaretti, Umberto Saba
• Polish: Bolesław Prus, Zbigniew Herbert
• Portuguese: Fernando Pessoa, Mário Cesariny, Mário de Sá-Carneiro, Walter Solon, Eugénio de Andrade, Al Berto, Alexandre O'Neill, José Saramago, António Lobo Antunes
• Russian: Ivan Turgenev, Anatoly Kudryavitsky
• Spanish: Octavio Paz, Ángel Crespo, Julio Cortázar, Ruben Dario, Oliverio Girondo
• Swedish: Tomas Tranströmer
• Sindhi language: Narin Shiam: Hari Dilgeer Tanyir Abasi: Saikh AyazMukhtiar Malik: Taj Joyo
Since the late 1980s especially, prose poetry has gained increasing popularity, with entire journals devoted solely to that genre.[citation needed]

PENELITIAN TINDAKAN KELAS

Differences between
Action Research and Formal Research:
TOPIC FORMAL RESEARCH ACTION RESEARCH
Training needed by researcher Extensive On own or with consultation
Goals of research Knowledge that is generalizable Knowledge to apply to the local situation
Method of identifying the problem to be studied Review of previous research Problems or goals currently faced
Procedure for literature review Extensive, using primary sources More cursory, using secondary sources
Sampling approach Random or representative sampling Students or clients with whom they work
Research design Rigorous control, long time frame Looser procedures, change during study; quick time frame; control through triangulation
Measurement procedures Evaluate and pretest measures Convenient measures or standardized tests
Data analysis Statistical tests; qualitative techniques Focus on practical, not statistical significance; present raw data
Application of results Emphasis on theoretical significance Emphasis on practical significance
Steps for Classroom Action Research
• Decide on a question--Meaningful and important to you.
• Read literature on your topic (the ERIC database is an excellent source)
• Plan your overall research strategy and data collection strategies
• Collect data (refine methods as needed)
• Make sense of the data (qualitative and/or quantitative)
• Reach conclusions about your question. What is the practical significance of your findings?
• Take action based on your conclusions
• Share your findings with others
Note: these steps are not always completed in this sequence and you may loop back through some steps several times.
Resources for Teacher Researchers:
• Bibliography for beginning teacher researchers
• Links to Web Sites
o Action Research on Web
o Cornell's Participatory Action Research Network
o Action Research in Education
• How to report statistics, a quick guide
• APA reference style, a quick guide
• Submitting your research report to ERIC
http://mypage.iusb.edu/~gmetteta/Classroom_Action_Research.html
2007
Classroom Action Research
Diposting oleh pahaji
A. PENGERTIAN

Classroom action research (CAR) adalah action research yang dilaksanakan oleh guru di dalam kelas. Action research pada hakikatnya merupakan rangkaian “riset-tindakan-riset-tindakan- …”, yang dilakukan secara siklik, dalam rangka memecahkan masalah, sampai masalah itu terpecahkan. Ada beberapa jenis action research, dua di antaranya adalah individual action research dan collaborative action research (CAR). Jadi CAR bisa berarti dua hal, yaitu classroom action research dan collaborative action research; dua-duanya merujuk pada hal yang sama.


Action research termasuk penelitian kualitatif walaupun data yang dikumpulkan bisa saja bersifat kuantitatif. Action research berbeda dengan penelitian formal, yang bertujuan untuk menguji hipotesis dan membangun teori yang bersifat umum (general). Action research lebih bertujuan untuk memperbaiki kinerja, sifatnya kontekstual dan hasilnya tidak untuk digeneralisasi. Namun demikian hasil action research dapat saja diterapkan oleh orang lain yang mempunyai latar yang mirip dengan yang dimliki peneliti.

B. MODEL - MODEL ACTION RESEARCH

Model Kurt Lewin menjadi acuan pokok atau dasar dari berbagai model action research, terutama classroom action research. Dialah orang pertama yang memperkenalkan action research. Konsep pokok action research menurut Kurt Lewin terdiri dari empat komponen, yaitu : (1) perencanaan (planning), (2) tindakan (acting), (3) pengamatan (observing), dan (4) refleksi (reflecting). Hubungan keempat komponen itu dipandang sebagai satu siklus.

Model Kemmis & Taggart merupakan pengembangan dari konsep dasar yang diperkenalkan Kurt lewin seperti yang diuraikan di atas, hanya saja komponen acting dan observing dijadikan satu kesatuan karena keduanya merupakan tindakan yang tidak terpisahkan, terjadi dalam waktu yang sama

C. MASALAH CAR

Berikut ini merupakan hal-hal yang perlu dipertimbangkan pada saat menentukan masalah CAR.

1. Banyaknya Masalah yang Dihadapi Guru

Setiap hari guru mengahadapi banyak masalah, seakan-akan masalah itu tidak ada putus-putusnya. Oleh karena itu guru yang tidak dapat menemukan masalah untuk CAR sungguh ironis. Merenunglah barang sejenak, atau ngobrollah dengan teman sejawat, Anda akan segera menemukan kembali seribu satu masalah yang telah merepotkan Anda selama ini.

2. Tiga Kelompok Masalah Pembelajaran

Masalah pembelajaran dapat digolongkan dalam tiga kategori, yaitu (a) pengorganisasian materi pelajaran, (b) penyampaian materi pelajaran, dan (c) pengelolaan kelas. Jika Anda berfikir bahwa pembahasan suatu topik dari segi sejarah dan geografi secara bersama-sama akan lebih bermakna bagi siswa daripada pembahasan secara sendiri-sendiri, Anda sedang berhadapan dengan masalah pengorganisasian materi. Jika Anda suka dengan masalah metode dan media, sebenarnya Anda sedang berhadapan dengan masalah penyampaian materi. Apabila Anda menginginkan kerja kelompok antar siswa berjalan dengan lebih efektif, Anda berhadapan dengan masalah pengelolaan kelas. Jangan terikat pada satu kategori saja; kategori lain mungkin mempunyai masalah yang lebih penting.

3. Masalah yang Berada di Bawah Kendali Guru

Jika Anda yakin bahwa ketiadaan buku yang menyebabkan siswa sukar membaca kembali materi pelajaran dan mengerjakan PR di rumah, Anda tidak perlu melakukan CAR untuk meningkatkan kebiasaan belajar siswa di rumah. Dengan dibelikan buku masalah itu akan terpecahkan, dan itu di luar kemampuan Anda. Dengan perkataan lain yakinkan bahwa masalah yang akan Anda pecahkan cukup layak (feasible), berada di dalam wilayah pembelajaran, yang Anda kuasai. Contoh lain masalah yang berada di luar kemampuan Anda adalah: Kebisingan kelas karena sekolah berada di dekat jalan raya.

4. Masalah yang Terlalu Besar

Nilai UAN yang tetap rendah dari tahun ke tahun merupakan masalah yang terlalu besar untuk dipercahkan melalui CAR, apalagi untuk CAR individual yang cakupannya hanya kelas. Faktor yang mempengaruhi Nilai UAN sangat kompleks mencakup seluruh sistem pendidikan. Pilihlah masalah yang sekiranya mampu untuk Anda pecahkan.

5. Masalah yang Terlalu Kecil

Masalah yang terlalu kecil baik dari segi pengaruhnya terhadap pembelajaran secara keseluruhan maupun jumlah siswa yang terlibat sebaiknya dipertimbangkan kembali, terutama jika penelitian itu dibiayai oleh pihak lain. Sangat lambatnya dua orang siswa dalam mengikuti pelajaran Anda misalnya, termasuk masalah kecil karena hanya menyangkut dua orang siswa; sementara masih banyak masalah lain yang menyangkut kepentingan sebagian besar siswa.

6. Masalah yang Cukup Besar dan Strategis

Kesulitan siswa memahami bacaan secara cepat merupakan contoh dari masalah yang cukup besar dan strategis karena diperlukan bagi sebagian besar mata pelajaran. Semua siswa memerlukan keterampilan itu, dan dampaknya terhadap proses belajar siswa cukup besar. Sukarnya siswa berkonsentrasi dalam mengikuti pelajaran, dan ketidaktahuan siswa tentang meta belajar (belajar bagaimana belajar) merupakan contoh lain dari masalah yang cukup besar dan strategis. Dengan demikian pemecahan masalah akan memberi manfaat yang besar dan jelas.

7. Masalah yang Anda Senangi

Akhirnya Anda harus merasa memiliki dan senang terhadap masalah yang Anda teliti. Hal itu diindikasikan dengan rasa penasaran Anda terhadap masalah itu dan keinginan Anda untuk segera tahu hasil-hasil setiap perlakukan yang diberikan.

8. Masalah yang Riil dan Problematik

Jangan mencari-cari masalah hanya karena Anda ingin mempunyai masalah yang berbeda dengan orang lain. Pilihlah masalah yang riil, ada dalam pekerjaan Anda sehari-hari dan memang problematik (memerlukan pemecahan, dan jika ditunda dampak negatifnya cukup besar).

9. Perlunya Kolaborasi

Tidak ada yang lebih menakutkan daripada kesendirian. Dalam collaborative action reseach Anda perlu bertukar fikiran dengan guru mitra dari mata pelajaran sejenis atau guru lain yang lebih senior dalam menentukan masalah.

D. IDENTIFIKASI, PEMILIHAN, DESKRIPSI, DAN RUMUSAN MASALAH

1. Identifikasi Masalah

Dalam mengidentifikasikan masalah, Anda sebaiknya menuliskan semua masalah yang Anda rasakan selama ini.

2. Pemilihan Masalah

Anda tidak mungkin memecahkan semua masalah yang teridentifikasikan itu secara sekaligus, dalam suatu action research yang berskala kelas. Masalah-masalah itu berbeda satu sama lain dalam hal kepentingan atau nilai strategisnya. Masalah yang satu boleh jadi merupakan penyebab dari masalah yang lain sehingga pemecahan terhadap yang satu akan berdampak pada yang lain; dua-duanya akan terpecahkan sekaligus. Untuk dapat memilih masalah secara tepat Anda perlu menyusun masalah-masalah itu berdasarkan kriteria tersebut: tingkat kepentingan, nilai strategis, dan nilai prerekuisit. Akhirnya Anda pilih salah satu dari masalah-masalah tersebut, misalnya “Siswa tidak dapat melihat hubungan antara mata pelajaran yang satu dengan yang lain.”

3. Deskripsi Masalah

Setelah Anda memilih salah satu masalah, deskripsikan masalah itu serinci mungkin untuk memberi gambaran tentang pentingnya masalah itu untuk dipecahkan ditinjau dari pengaruhnya terhadap pembelajaran secara umum maupun jumlah siswa yang terlibat.

Contoh: “Jika diberi pelajaran dengan pendekatan terpadu antara geografi, ekonomi, dan sejarah siswa merasa sukar mentransfer keterampilan dari satu pelajaran ke pelajaran lain. Pelajaran yang saya berikan adalah geografi, tetapi saya sering mengaitkan pembahasan dengan mata pelajaran lain seperti ekonomi dan sejarah. Ketika saya minta siswa mengemukakan hipotesis tentang pengaruh Danau Toba terhadap perkembangan ekonomi daerah, siswa terasa sangat bingung; padahal mereka telah dapat mengemukakan hipotesis dengan baik dalam mata pelajaran geografi. Saya khawatir siswa hanya menghafal pada saat dilatih mengemukakan hipotesis. Padahal dalam kehidupan sehari-hari keterampilan berhipotesis harus dapat diterapkan di mana saja dan dalam bidang studi apa saja. Pada hakikatnya setiap hari kita mengemukakan hipotesis. Ketidakbisaan siswa itu terjadi sepanjang tahun, tidak hanya pada permulaan tahun ajaran. Kelihatannya semua siswa mengalami hal yang sama, termasuk siswa yang cerdas. Guru lain ternyata juga mengalami hal yang sama, siswanya sukar mentransfer suatu keterampilan ke mata pelajaran lain.”

4. Rumusan Masalah

Setelah Anda memilih satu masalah secara seksama, selanjutnya Anda perlu merumuskan masalah itu secara komprehensif dan jelas. Sagor (1992) merinci rumusan masalah action research menggunakan lima pertanyaan:

1. Siapa yang terkena dampak negatifnya?
2. Siapa atau apa yang diperkirakan sebagai penyebab masalah itu?
3. Masalah apa sebenarnya itu?
4. Siapa yang menjadi tujuan perbaikan?
5. Apa yang akan dilakukan untuk mengatasi hal itu? (tidak wajib, merupakan hipotesis tindakan).

Contoh rumusan masalah:

* Siswa di SLTP-X tidak dapat melihat hubungan antara mata pelajaran yang satu dengan yang lain di sekolah (Ini menjawab pertanyaan 1 dan 3)
* Grup action research percaya bahwa hal ini merupakan hasil dari jadwal mata pelajaran dan cara guru mengajarkan materi tersebut (Ini menjawab pertanyaan 2)
* Kita menginginkan para siswa melihat relevansi kurikulum sekolah, mengapresiasi hubungan antara disiplin-disiplin akademis, dan dapat menerapkan keterampilan yang diperoleh dalam satu mata pelajaran untuk pemecahan masalah dalam mata pelajaran lain (Ini menjawab pertanyaan 4)
* Oleh karena itu kita merencanakan integrasi pembelajaran IPA, matematika, bahasa, dan IPS dalam satuan pelajaran interdisiplin berjudul Masyarakat dan Teknologi (Ini manjawab pertanyaan 5)

Contoh pertanyaan penelitian:

1. Kesulitan apa yang dialami siswa dalam mentransfer keterampilan dari satu mata pelajaran satu ke mata pelajaran lain?
2. Apakah siswa dapat mentrasfer keterampilan lebih mudah antara dua mata pelajaran yang disukai?
3. Apa yang menyebabkan siswa menyukai suatu mata pelajaran?
4. Apakah ada perbedaan antara prestasi belajar siswa yang belajar dalam kelas mata pelajaran multidisiplin dibandingkan dengan mereka yang dalam kelas mata pelajaran tunggal?

E. KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS TINDAKAN
1. Kajian Teori

Dalam membuat rumusan masalah di atas sebenarnya Anda telah melakukan “analisis penyebab masalah” sekaligus membuat “hipotesis tindakan” yang akan diberikan untuk memecahkan masalah tersebut. Untuk melakukan analisis secara tajam dan menjustifikasi perlakuan yang akan diberikan, Anda perlu merujuk pada teori-teori yang sudah ada. Tujuannya sekedar meyakinkan bahwa apa yang Anda lakukan dapat dipertanggungjawabkan secara profesional. Dalam hal ini proses kolaborasi memegang peranan yang sangat penting.

Anda juga perlu membaca hasil penelitian terakhir, termasuk CAR, siapa tahu apa yang akan Anda lakukan sudah pernah dilakukan oleh orang lain; Anda dapat mengambil manfaat dari pengalaman orang itu. Manfaat lain yang lebih penting, Anda akan mengetahui trend-trend baru yang sedang diperhatikan atau diteliti oleh para guru di seluruh dunia. Sekarang ini sedang nge-trend pembelajaran yang bernuansa quantum teaching, quantum learning, contextual learning, integrated curriculum, dan competency based curriculum yang semua berorientasi pada kepentingan siswa. Jika penelitian Anda masih berkutat pada pemberian drill dan PR agar nilai UAN mereka meningkat, tanpa memperdulikan rasa ketersiksaan siswa, profesionalisme Anda akan dipertanyakan.
2. Hipotesis Tindakan

Lakukanlah analisis penyebab masalah secara seksama agar tindakan yang Anda rencanakan berjalan dengan efektif. Hipotesis tindakan dapat Anda tuliskan secara eksplisit, tetapi dapat juga tidak karena pada dasarnya Anda belum tahu tindakan mana yang akan berdampak paling efektif.

F. METODOLOGI
1. Setting Penelitian

Setting penelitian perlu Anda uraikan secara rinci karena penting artinya bagi guru lain yang ingin meniru keberhasilan Anda. Mereka tentu akan mempertimbangkan masak-masak apakah ada kemiripan antara setting sekolahnya dengan setting penelitian Anda.
2. Perbedaan Mengajar Biasa dengan CAR

Dalam melakukan CAR kegiatan mengajar standar (biasa) berlangsung secara alami; tetapi ada bagian-bagian tertentu yang diberi perlakuan secara khusus dan diamati dampaknya secara seksama. Langkah-langkah seperti pembuatan satuan pelajaran, rencana pelajaran, lembaran kerja, dan alat bantu pembelajaran lainnya adalah langkah pembelajaran standar, bukan CAR. Asumsinya CAR dilaksanakan oleh guru yang sudah melaksanakan pembelajaran standar secara lengkap tetapi belum berhasil. Ia akan memodifikasi bagian-bagian tertentu dari pembelajaran standar itu. Bagian yang dimodifikasi itulah fokus dari CAR Anda.
3. Tahap Perencanaan

Tahap perencanaan CAR sebaiknya hanya menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan CAR. Jika ada perubahan pada satuan pelajaran misalnya, hanya bagian yang diubah saja yang perlu diuraikan secara rinci. Akan lebih baik jika perubahan itu diletakkan dalam konteks satuan pelajaran aslinya sehingga terlihat jelas besar perubahan yang dilakukan. Perangkat-perangkat pembelajaran juga hanya tambahannya yang diuraikan secara rinci. Jika pembelajaran standar telah dilaksanakan dengan baik perangkat pembelajaran yang diperlukan untuk CAR dengan sendirinya sebagian besar sudah tersedia.

Yang sering terjadi dalam CAR selama ini pembelajaran standar belum dilaksanakan sehingga CAR menjadi wahana untuk mewujudkan pembelajaran standar. Hal itu terlihat dari latar belakang yang diuraikan secara emosional oleh peneliti, umumnya menggambarkan pembelajaran yang sangat tradisional, buruk, dan di bawah standar. Setelah sekolah mendapat bantuan dana peningkatan kualitas pembelajaran pun uraian latar belakang itu tidak menunjukkan adanya perubahan yang berarti. Secara tidak langsung ditunjukkan bahwa perlakuan-perlakuan yang diberikan oleh pemberi dana selama ini berlalu tanpa bekas.

Tahap perencanaan bisa memerlukan waktu setengah bulan karena harus mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan, termasuk di dalamnya adalah penyusunan jadwal, pembuatan instrumen, dan pemilihan kolaborator.
4. Siklus-siklus

Dalam CAR siklus merupakan ciri khas yang membedakannya dari penelitian jenis lain; oleh karena itu siklus harus dilaksanakan secara benar. Siklus pada hakikatnya adalah rangkaian “riset-aksi-riset-aksi- …” yang tidak ada dalam penelitian biasa. Dalam penelitian biasa hanya terdapat satu riset dan satu aksi kemudian disimpulkan. Dalam CAR hasil yang belum baik masih ada kesempatan untuk diperbaiki lagi sampai berhasil.

Siklus terdiri dari (1) perencanaan; (2) pelaksanaan; (3) pengamatan; dan (4) refleksi; dan (5) perencanaan kembali. Yang diuraikan dalam siklus hanya bagian yang dimodifikasi melalui action reseach, bukan seluruh proses pembelajaran. Modifikasi atau perubahan secara total jarang dilakukan dalam action research yang berskala kelas karena bagaimanapun sistem pendidikan secara umum masih belum berubah.

Misalnya Anda akan memodifikasi pembelajaran dengan memperbanyak penggunaan carta. Dalam “perencanaan” yang Anda uraikan adalah tentang carta itu saja, misalnya “Tiap pertemuan diusahakan akan ada carta yang digunakan dalam kelas.” Dalam “pelaksanaan” Anda uraikan kenyataan yang terjadi, apakah benar tiap pertemuan bisa digunakan carta, misalnya “Penggunaan carta tiap pertemuan hanya dapat dilakukan selama dua minggu pertama; minggu berikutnya rata-rata hanya satu carta tiap empat pertemuan.” Anda tentu saja dapat mengelaborasi “pelaksanaan” itu dengan menyebutkan carta-carta apa saja yang digunakan, saat-saat mana yang paling tepat untuk penggunaan, siapa yang menggunakan, berapa lama digunakan, berapa ukurannya, di mana disimpan, dsb., dsb. “Pengamatan” didominasi oleh data-data hasil pengukuran terhadap respons siswa, menggunakan berbagai instrumen yang telah disiapkan. “Refleksi” berisi penjelasan Anda tentang mengapa terjadi keberhasilan maupun kegagalan, diakhiri dengan perencanaan kembali untuk perlakuan pada siklus berikutnya.

Dalam action reseach selama ini banyak siklus yang bersifat semu, tidak sesuai dengan kaidah yang sudah baku. Inilah kelemahan-kelemahan yang terjadi.

1. Dalam siklus diuraikan semua proses pembelajaran, sehingga tidak dapat dilihat bagian yang sebenarnya sedang diteliti. Seolah-olah seluruh proses pembelajaran diubah secara total melalui CAR, dan sebelumnya pembelajaran berlangsung secara tradisional, buruk, dan di bawah standar.
2. Tidak jelas apakah perlakuan dalam suatu siklus dilakukan secara terus-menerus selama periode tertentu, sampai data pengamatan bersifat jenuh (menunjukkan pola yang menetap) dan diperoleh dari berbagai sumber (triangulasi). Sebagai analogi, jika selama satu minggu suhu badan pasien menunjukkan suhu 37,50 C; 370 C; 370 C; 37,50 C; 37,50 C; 37,50 C; dapatlah disimpulkan bahwa kondisinya telah kembali normal. Itu digabungkan dengan data pengamatan lain selama seminggu juga seperti perilaku, nafsu makan, dan denyut nadi pasien, yang bersifat triangulatif.
3. Siklus dilakukan tidak berdasarkan refleksi dari siklus sebelumnya. Ada siklus yang dilakukan secara tendensius: siklus pertama dengan metode ceramah, siklus kedua dengan demonstrasi, dan siklus ketiga dengan eksperimen, hanya ingin menunjukkan bahwa metode eksperimen adalah yang terbaik. Peneliti ini lupa bahwa metode harus disesuaikan dengan karakteristik materi pelajaran. Untuk materi pertama boleh jadi justru metode ceramah yang lebih cocok.

5. Instrumen

Instrumen merupakan bagian yang tidak kalah pentingnya dalam pelaksanaan CAR. Jenis instrumen harus sesuai dengan karakteristik variabel yang diamati. Triangulasi dan saturasi (kejenuhan informasi) perlu diperhatikan untuk menjamin validitas data.

G. HASIL PENELITIAN
1. Siklus-siklus Penelitian

Hasil penelitian CAR tidak hanya berisi data hasil observasi, melainkan justru proses perbaikan yang dilakukan. Untuk itu siklus adalah cara yang tepat untuk menyajikan hasil penelitian. Data hasil observasi tidak disajikan secara terpisah melainkan dalam konteks siklus-siklus yang telah dilakukan.
2. Tabel, Diagram, dan Grafik

Tabel, diagram, dan grafik sangat baik digunakan untuk menyajikan data hasil observasi. Gunanya agar refleksi dapat dilakukan lebih mudah. Tetapi sajian yang cantik itu bisa menjadi blunder manakala angka-angkanya diatur sedemikain rupa sehingga terkesan artificial. Hasil yang begitu spektakuler seringkali tidak disertai dengan “bagaimana” proses untuk mencapainya, sehingga pembaca akan makin ragu.
3. Hasil-hasil yang Otentik

Hasil-hasil yang otentik seperti karangan siswa, gambar hasil karya siswa, dan foto tentang proyek yang dilakukan siswa akan sangat baik dicantumkan sebagai hasil penelitian.

H. KESIMPULAN CAR

1. Kesimpulan

Kesimpulan tentu saja harus menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian atau menguji hipotesis yang telah dikemukakan. Pertanyaan penelitian pada bagian D4 di atas di samping menuntut jawaban yang berupa hasil juga menuntut prosesnya. Marilah kita lihat pertanyaan-pertanyaan itu sekali lagi.

1. Kesulitan apa yang dialami siswa dalam mentransfer keterampilan dari satu mata pelajaran satu ke mata pelajaran lain ? Jawaban atas pertanyaan ini bisa diperoleh melalui tes awal dan atau selama proses pembelajaran berlangsung. Walaupun baru berupa daftar kesulitan yang dialami siswa, temuan ini cukup berarti bagi guru-guru lain. Kita sendiri pada saat ini belum bisa membayangkan kesulitan-kesulitan tersebut.
2. Apakah siswa dapat mentrasfer keterampilan lebih mudah antara dua mata pelajaran yang disukai ? Jawaban atas pertanyaan ini diperoleh setelah guru menghubungkan berbagai mata pelajaran dalam materi tes awal atau selama pembelajaran berlangsung, misalnya antara fisika dengan biologi, ekonomi dengan sejarah, dan bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia.
3. Apa yang menyebabkan siswa menyukai suatu mata pelajaran ? Kesimpulan ini dapat diperoleh melalui kuesioner dan atau wawancara pada awal pembelajaran atau selama pembelajaran berlangsung.
4. Apakah ada perbedaan antara prestasi belajar siswa yang belajar dalam kelas mata pelajaran multidisiplin dibandingkan dengan mereka yang dalam kelas mata pelajaran tunggal ?Jawaban atas pertanyaan ini diperoleh setelah siswa diberi perlakukan yang berbeda; misalnya satu kelas diberi pelajaran multi disiplin, dan kelas lain diberi pelajaran yang terpisah-pisah, seperti biasanya. Ini tampaknya merupakan fokus dari CAR. Jika ditemukan bahwa mata pelajaran multidisiplin lebih berhasil dalam mengembangkan kemampuan transfer keterampilan antar mata pelajaran, peneliti perlu mengelaborasi bagaimana proses pembelajaran model multidisiplin tersebut berlangsung.

Jadi kesimpulan penelitian CAR akan kurang bermanfaaat jika bunyinya hanya seperti: “Pembelajaran dengan media akan meningkatkan hasil belajar siswa.” Kesimpulan ini mirip dengan yang diinginkan penelitian kuantitatif. Guru lain yang membaca kesimpulan ini tentu ingin mengetahui bagaimana prosesnya sehingga media itu bisa meningkatkan hasil belajar. Jadi kesimpulan itu masih harus diikuti dengan proses atau rinciannya, seperti a) Transparansi OHP lebih disukai siswa daripada media lain, b) Paling banyak hanya 10 transparansi dapat ditunjukkan dalam satu presentasi, jika lebih dari itu siswa akan bosan; c) Presentasi pada awal pembelajaran cenderung lebih disukai; d) Penjelasan yang terlalu lama terhadap satu transparansi cenderung membuat siswa bosan; dan e) Satu kali presentasi sebaiknya tidak lebih dari 20 menit.

2. Saran

Karena CAR bersifat kontekstual, pemberian saran kepada orang lain berdasarkan hasil penelitian tersebut sebenarnya kurang bermanfaat. Deskripsi konteks penelitian secara rinci sudah cukup untuk memberikan informasi bagi guru lain yang ingin meniru keberhasilan Anda. Saran seperti “Program CAR ini perlu lanjutkan dan diperluas untuk tahun-tahun mendatang,” juga kurang begitu perlu, bahkan kurang relevan.
http://guru-gorontalo.blogspot.com/2007/12/classroom-action-research.html
Teaching English


Classroom action research
What is classroom action research?
Classroom action research begins with a question or questions about classroom experiences, issues, or challenges. It is a reflective process which helps teachers to explore and examine aspects of teaching and learning and to take action to change and improve.
Who is it for?
Any teacher who:
• wants to understand more about teaching and learning
• wants to develop teaching skills and knowledge
• wants to take action to improve student learning

What are the benefits?
• provides a framework for trying out different approaches and ideas
• helps develop reflective practice
• enables teachers to make choices and decisions about their teaching styles
• helps develop confidence
• helps teachers improve student learning

How to do ... Classroom action research
1 Reflect
Consider your current classroom practice. Think about questions you have about teaching, topics you are interested in, problem areas, or aspects of teaching/learning you are unsure about. Make a list. From your list, decide what you would like to research. To help you decide, think about why you want to do it. What are the benefits to you and your learners? When you have decided, write a research question.
2 Explore
Reflect on your research question. Where can you find information to help you plan your research? It may help you to discuss your question with colleagues. You may need to consult published materials or the Internet for information and ideas. Find out as much as you can about your question topic to help you plan how to do the research.
3 Plan
Draw up an action research plan which states your question, how and why you are going to carry out the research. Things to think about: how long it will take? What tools will you use in your research? How will you record your research? There are different ways of doing research. It can be as simple as just writing down your own reflections after each lesson or it could include questionnaires, observations, audio recordings and so on.
4 Research
Carry out your research using your chosen method. Some tools are:
• Peer observation
• Teacher diary
• Learner feedback
• Lesson evaluation
• Recording lessons
• Reflecting on learners' work
• Surveys
Choose the method which best suits your research question.
5 Analyze
This stage helps you to make sense of the data you have collected in your research. It is a process of reflecting on, organizing and reviewing your data to help you answer your research question. What have you found out? What insights have you gained from the research? What does your research show you?
6 Act
Reflect on your results. Look at your teaching practice - what changes will you make?
Take action based on what you found out from your research.
7 Review
When you have implemented changes, it is important to review. How successful were the changes? Do you need to take any follow-up action? Has your research indicated other areas you could explore? In other words, you begin a new reflective cycle.
http://www.teachingenglish.org.uk/transform/teachers/teacher-development-tools/action-research

Pengikut