Teknik Pengelolaan Kelashttp://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/24/teknik-pengelolaan-kelas/
Diterbitkan 24 Januari 2008 kurikulum dan pembelajaran 34 Komentar
Tags: artikel, berita, KTSP, kurikulum, makalah, metode, opini, pembelajaran, pendidikan, strategi, teknik, umum
Dalam salah satu tulisannya Raka Joni mengupas tentang pengelolaan kelas. Menurutnya pengelolaan kelas merupakan salah satu keterampilan penting yang harus dikuasai guru. Pengelolaan kelas berbeda dengan pengelolaan pembelajaran. Pengelolaan pembelajaran lebih menekankan pada kegiatan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan tindak lanjut dalam suatu pembelajaran. Sedangkan pengelolaan kelas lebih berkaitan dengan upaya-upaya untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses belajar (pembinaan rapport, penghentian perilaku peserta didik yang menyelewengkan perhatian kelas, pemberian ganjaran, penyelesaian tugas oleh peserta didik secara tepat waktu, penetapan norma kelompok yang produktif), didalamnya mencakup pengaturan orang (peserta didik) dan fasilitas.
Terdapat dua macam masalah pengelolaan kelas, yaitu :
1. Masalah Individual :
• Attention getting behaviors (pola perilaku mencari perhatian).
• Power seeking behaviors (pola perilaku menunjukkan kekuatan)
• Revenge seeking behaviors (pola perilaku menunjukkan balas dendam).
• Helplessness (peragaan ketidakmampuan).
Keempat masalah individual tersebut akan tampak dalam berbagai bentuk tindakan atau perilaku menyimpang, yang tidak hanya akan merugikan dirinya sendiri tetapi juga dapat merugikan orang lain atau kelompok.
2. Masalah Kelompok :
• Kelas kurang kohesif, karena alasan jenis kelamin, suku, tingkatan sosial ekonomi, dan sebagainya.
• Penyimpangan dari norma-norma perilaku yang telah disepakati sebelumnya.
• Kelas mereaksi secara negatif terhadap salah seorang anggotanya.
• “Membombong” anggota kelas yang melanggar norma kelompok.
• Kelompok cenderung mudah dialihkan perhatiannya dari tugas yang tengah digarap.
• Semangat kerja rendah atau semacam aksi protes kepada guru, karena menganggap tugas yang diberikan kurang fair. Kelas kurang mampu menyesuakan diri dengan keadaan baru.
Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan
Behavior – Modification Approach (Behaviorism Apparoach)
Asumsi yang mendasari penggunaan pendekatan ini adalah bahwa perilaku “baik” dan “buruk” individu merupakan hasil belajar. Upaya memodifikasiperilaku dalam mengelola kelas dilakukan melalui pemberian positive reinforcement (untuk membina perilaku positif) dan negative reinforcement (untuk mengurangi perilaku negatif). Kendati demikian, dalam penggunaan reinforcement negatif seyogyanya dilakukan secara hati-hati, karena jika tidak tepat malah hanya akan menimbulkan masalah baru.
Socio-Emotional Climate Approach (Humanistic Approach)
Asumsi yang mendasari penggunaan pendekatan ini adalah bahwa proses belajar mengajar yang baik didasari oleh adanya hubungan interpersonal yang baik antara peserta didik – guru dan atau peserta didik – peserta didik dan guru menduduki posisi penting bagi terbentuknya iklim sosio-emosional yang baik.
Dalam hal ini, Carl A. Rogers mengemukakan pentingnya sikap tulus dari guru (realness, genuiness, congruence); menerima dan menghargai peserta didik sebagai manusia (acceptance, prizing, caring, trust) dan mengerti dari sudut pandangan peserta didik sendiri (emphatic understanding).
Sedangkan Haim C. Ginnot mengemukakan bahwa dalam memecahkan masalah, guru berusaha untuk membicarakan situasi, bukan pribadi pelaku pelanggaran dan mendeskripsikan apa yang ia lihat dan rasakan; serta mendeskripsikan apa yang perlu dilakukan sebagai alternatif penyelesaian.
Hal senada dikemukakan William Glasser bahwa guru seyogyanya membantu mengarahkan peserta didik untuk mendeskripsikan masalah yang dihadapi; menganalisis dan menilai masalah; menyusun rencana pemecahannya; mengarahkan peserta didik agar committed terhadap rencana yang telah dibuat; memupuk keberanian menanggung akibat “kurang menyenangkan”; serta membantu peserta didik membuat rencana penyelesaian baru yang lebih baik.
Sementara itu, Rudolf Draikurs mengemukakan pentingnya Democratic Classroom Process, dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk dapat memikul tanggung jawab; memperlakukan peserta didik sebagai manusia yang dapat secara bijak mengambil keputusan dengan segala konsekuensinya; dan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menghayati tata aturan masyarakat.
Group Process Approach
Asumsi yang mendasari penggunaan pendekatan ini adalah bahwa pengalaman belajar berlangsung dalam konteks kelompok sosial dan tugas guru adalah membina dan memelihara kelompok yang produktif dan kohesif. Richard A. Schmuck & Patricia A. Schmuck mengemukakan prinsip – prinsip dalam penerapan pendekatan group proses, yaitu : (a) mutual expectations; (b) leadership; (c) attraction (pola persahabatan); (c) norm; (d) commu6 indikator pengelolaan kelas yang berhasil
Maret 26, 2008 • 21 Komentar
Pembaca sekalian, tulisan ini dibuat menyambut respon dari Ibu Ayu yang menanyakan mengenai indikator pengelolaan kelas yang berhasil. Uniknya melalui upaya menjawab pertanyaan beliau saya malah mendapat hal-hal yang baru. Salah satu yang membuat saya terkejut adalah perihal memberikan siswa konsekuensi, yang ternyata sama dengan mengancam siswa. Semuanya saya dapat dari situs teachers.net. silahkan menikmati indikator-indikator berikut ini.
1. Guru mengerti perbedaan antara mengelola kelas dan mendisiplinkan kelas
2. Sebagai guru jika anda pulang ke rumah tidak dalam keadaan yang sangat lelah.
3. Guru mengetahui perbedaan antara prosedur kelas (apa yang guru inginkan terjadi contohnya cara masuk kedalam kelas, mendiamkan siswa, bekerja secara bersamaan dan lain-lain ) dan rutinitas kelas (apa yang siswa lakukan secara otomatis misalnya tata cara masuk kelas, pergi ke toilet dan lain-lain). Ingat prosedur kelas bukan peraturan kelas.
4. Guru melakukan pengelolaan kelas dengan mengorganisir prosedur-prosedur, sebab prosedur mengajarkan siswa akan pentingnya tanggung jawab.
5. Guru tidak mendisiplinkan siswa dengan ancaman-ancaman, dan konsekuensi.(stiker, penghilangan hak siswa dan lain-lain)
6. Guru mengerti bahwa perilaku siswa di kelas disebabkan oleh sesuatu, sedangkan disiplin bisa dipelajari
Ada dua hal yang membedakan antara guru yang berhasil dengan yang tidak.
1. Guru yang kurang berhasil menghabiskan hari-hari pertama di tahun ajaran dengan langsung mengajarkan subyek mata pelajaran kemudian sibuk mendisiplinkan siswa selama setahun penuh.
2. Guru yang efektif menghabiskan dua minggu pertama ditahun ajaran dengan meneguhkan prosedur.
Kategori: Hubungan sekolah dengan masyarakat • Kurikulum Baru (KTSP) • Manajemen kelas • Pengajaran/pembelajaran khusus mapel • Pengembangan kebijakan sekolah • Pengetahuan tentang Mapel • Penilaian siswa
Tagged: agus sampurno, disiplin, kepala sekolah, Pendidikan, pengelolaan kelas, sekolah dasar
nication; (d) cohesivenesshttp://gurukreatif.wordpress.com/2008/03/26/6-indikator-pengelolaan-kelas-yang-berhasil/
64 Jurnal Pendidikan Penabur - No.01 / Th.I / Maret 2002
Hasil Penelitian
P
Efektivitas Pengelolaan Kelas
Andyarto Surjana *)
*) Drs. Andyarto Surjana, MBA., M.Pd adalah Kepala Bidang Pendidikan BPK PENABUR.
Penelitian ini merupakan suatu studi korelasional di lingkungan SMU Kristen BPK
PENABUR di
Abstrak.
enelitian ini bermaksud untuk melihat apakah ada hubungan antara
motivasi guru dan gaya kepemimpinan guru terhadap efektivitas
pengelolaan kelas secara sendiri-sendiri atau secara bersama. Hasil
peneltian korelasional yang dilakukan di SMU Kristen BPK PENABUR
Jakarta ini menyimpulkan terdapat hubungan positif dan berarti antara kedua
variabel bebas dengan variabel terikat secara sendiri-sendiri atau bersamasama.
Akan tetapi dalam kenyataannya perhatian terhadap motivasi guru dan
gaya kepemimpinan guru itu masih perlu ditingkatkan.
The Effectiveness Of Class Management
Abstract
(The objective of the research is to study the correlation of teacher’s motivation,
teacher’s leadership style and teacher’s effectiveness of class management.
The research is conducted at SMU Kristen BPK PENABUR Jakarta.
It is discovered that first, there is a positive significant correlation of teacher’s
motivation and teacher’s class management effectiveness. Second, there is a
positive significant correlation of teacher’s leadership style and teacher’s class
management effectiveness. Third, simultaneously both independent variabel
correlate positively and significantly with dependent variabels. Finally, the research
suggests that schools principals have to pay attention to teacher;s
motivation and teacher’s leadership style in order to make a better performance
of the teachers in schools).
Jurnal Pendidikan Penabur - No.01 / Th.I / Maret 2002 65
Efektivitas Pengelolaan Kelas
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas merupakan aset bangsa
dan negara dalam melaksanakan pembangunan nasional di berbagai sektor
dan dalam menghadapi tantangan kehidupan masyarakat dalam era globalisasi.
Sumber daya manusia ini tiada lain ditentukan oleh hasil produktivitas lembagalembaga
penyelenggara pendidikan, yang terdiri atasi jalur sekolah dan luar
sekolah, dan secara spesifik merupakan hasil proses belajar-mengajar di kelas.
Pendidikan jalur sekolah terdiri atas tiga jenjang yaitu pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi serta bersifat formal, karena
dilaksanakan secara berkesinambungan dan adanya saling keterkaitan dalam
kurikulum yang diajarkan. Jenjang pendidikan yang lebih tinggi baru bisa diikuti
apabila jenjang sebelumnya telah selesai diikuti dan berhasil (St. Vembriarto,
dkk., 1994 : 48).
Inti kegiatan suatu sekolah atau kelas adalah proses belajar mengajar (PBM).
Kualitas belajar siswa serta para lulusan banyak ditentukan oleh keberhasilan
pelaksanaan PBM tersebut atau dengan kata lain banyak ditentukan oleh fungsi
dan peran guru. Pada dewasa ini masih banyak permasalahan yang berkaitan
dengan PBM. Seringkali muncul berbagai keluhan atau kritikan para siswa,
orang tua siswa ataupun guru berkaitan dengan pelaksanaan PBM tersebut.
Keluhan-keluhan itu sebenarnya tidak perlu terjadi atau setidak-tidaknya
dapat diminimalisasikan, apabila semua pihak dapat berperan, terutama guru
sebagai pengelola kelas dalam fungsi yang tepat. Sementara ini pemahaman
mengenai pengelolaan kelas nampaknya masih keliru. Seringkali pengelolaan
kelas dipahami sebagai pengaturan ruangan kelas yang berkaitan dengan
sarana seperti tempat duduk, lemari buku, dan alat-alat mengajar. Padahal
pengaturan sarana belajar mengajar di kelas hanyalah sebagian kecil saja,
yang terutama adalah pengkondisian kelas, artinya bagaimana guru
merencanakan, mengatur, melakukan berbagai kegiatan di kelas, sehingga
proses belajar mengajar dapat berjalan dan berhasil dengan baik. Pengelolaan
kelas menurut penulis adalah upaya yang dilakukan guru untuk mengkondisikan
kelas dengan mengoptimalisasikan berbagai sumber (potensi yang ada pada
diri guru, sarana dan lingkungan belajar di kelas) yang ditujukan agar proses
belajar mengajar dapat berjalan sesuai dengan perencanaan dan tujuan yang
ingin dicapai.
Sejauh pengamatan penulis jarang sekali ada sekolah di Indonesia yang
melaksanakan pengelolaan kelas dengan tepat, meskipun Departemen
Pendidikan Nasional (Depdiknas) sudah memberikan dan mensosialisasikan
pengelolaan kelas yang seharusnya dilakukan. Depdiknas pernah melakukan
66 Jurnal Pendidikan Penabur - No.01 / Th.I / Maret 2002
Hasil Penelitian
pelatihan bagi guru dan kepala sekolah mengenai pengelolaan kelas, namun
hasilnya belum terlihat secara nyata dalam pengelolaan kelas.
Dalam pengelolaan kelas ada dua subjek yang memegang peranan yaitu
guru dan siswa. Guru sebagai pengelola, sebagai pemimpin mempunyai peranan
yang lebih dominan dari siswa. Motivasi kerja guru dan gaya kepemimpinan
guru merupakan komponen yang akan ikut menentukan sejauhmana
keberhasilan guru dalam mengelola kelas.
B. Masalah
Banyak aspek yang terkait dengan pengelolaan kelas, akan tetapi dalam dalam
penelitian ini yang menjadi perhatian ialah motivasi kerja dan gaya
kepemimpinan guru. Kedua variabel ini merupakan faktor yang terkait langsung
dengan pribadi guru, yang akan menentukan perilaku guru dalam mengelola
kelas. Di samping pembatasan variabel, ruang lingkup penelitian ini juga dibatasi
di lingkungan SMU Kristen BPK PENABUR Jakarta.
Atas dasar pembatasan itu, maka rumusan masalahnya adalah :
1. Apakah ada hubungan antara motivasi kerja guru dengan efektivitas
pengelolaan kelas pada SMU Kristen BPK PENABUR di Jakarta ?
2. Apakah ada hubungan antara gaya kepemimpinan guru dengan efektivitas
pengelolaan kelas pada SMU Kristen BPK PENABUR di Jakarta ?
3. Apakah ada hubungan antara motivasi kerja dan gaya kepemimpinan
guru secara bersama-sama dengan efektivitas pengelolaan kelas pada
SMU Kristen BPK PENABUR di Jakarta ?
C. Kajian Teori dan Kerangka Berpikir
1. Efektivitas Pengelolaan Kelas
Pengelolaan kelas dalam bahasa Inggris diistilahkan sebagai Classroom
Management, itu berarti istilah pengelolaan identik dengan manajemen.
Pengertian pengelolaan atau manajemen pada umumnya yaitu kegiatankegiatan
meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan,
pengkoordinasian, pengawasan, dan penilaian.
Wilford A. Weber (James M. Cooper, 1995 : 230) mengemukakan bahwa
Classroom management is a complex set of behaviors the teacher uses to
establish and maintain classroom conditions that will enable students to achieve
their instructional objectives efficiently – that will enable them to learn.
Definisi di atas menunjukkan bahwa pengelolaan kelas merupakan
seperangkat perilaku yang kompleks dimana guru menggunakan untuk menata
dan memelihara kondisi kelas yang akan memampukan para siswa mencapai
Jurnal Pendidikan Penabur - No.01 / Th.I / Maret 2002 67
Efektivitas Pengelolaan Kelas
tujuan pembelajaran secara efisien.
Lebih lanjut Wilford mengemukakan mengenai pandangan-pandangan yang
bersifat filosofis dan operasional dalam pengelolaan kelas : 1) pendekatan
otoriter : siswa perlu diawasi dan diatur; 2) pendekatan intimidasi : mengawasi
siswa dan menertibkan siswa dengan cara intimidasi; 3) pendekatan permisif
: memberikan kebebasan kepada siswa, apa yang ingin dilakukan siswa, guru
hanya memantau apa yang dilakukan siswa; 4) pendekatan resep masakan :
mengikuti dengan tertib dan tepat hal-hal yang sudah ditentukan, apa yang
boleh dan apa yang tidak; 5) pendekatan pengajaran : guru menyusun rencana
pengajaran dengan tepat untuk menghindari permasalahan perilaku siswa yang
tidak diharapkan; 6) pendekatan modifikasi perilaku : mengupayakan perubahan
perilaku yang positif pada siswa; 7) pendekatan iklim sosio-emosional : menjalin
hubungan yang positif antara guru-siswa ; 8) pendekatan sistem proses
kelompok/dinamika kelompok : meningkatkan dan memelihara kelompok kelas
yang efektif dan produktif. Dari kedelapan pendekatan tersebut yang akan
mengoptimalisasikan pengelolaan kelas adalah pendekatan modifikasi perilaku,
iklim sosio-emosional, dan sistem proses kelompok/dinamika kelompok.
Berdasarkan pada kajian teori, peneliti mendefinisikan efektivitas pengelolaan
kelas adalah tingkat tercapainya tujuan dari pengelolaan kelas. Pengelolaan
kelas didefinisikan sebagai serangkaian tindakan yang dilakukan guru dalam
upaya menciptakan kondisi kelas agar proses belajar mengajar dapat berjalan
sesuai dengan tujuannya. Tindakan-tindakan yang perlu dilakukan guru dalam
menciptakan kondisi kelas adalah melakukan komunikasi dan hubungan interpersonal
antara guru-siswa secara timbal balik dan efektif, selain melakukan
perencanaan/persiapan mengajar.
Guru sebagai pengelola kelas merupakan orang yang mempunyai peranan
yang strategis yaitu orang yang merencanakan kegiatan-kegiatan yang akan
dilakukan di kelas, orang yang akan mengimplementasikan kegiatan yang
direncanakan dengan subjek dan objek siswa, orang menentukan dan
mengambil keputusan dengan strategi yang akan digunakan dengan berbagai
kegiatan di kelas, dan guru pula yang akan menentukan alternatif solusi untuk
mengatasi hambatan dan tantangan yang muncul; maka dengan tiga
pendekatan-pendekatan yang dikemukakan, akan sangat membantu guru dalam
melaksanakan tugas pekerjaannya.
Guru dalam melakukan tugas mengajar di suatu kelas, perlu merencanakan
dan menentukan pengelolaan kelas yang bagaimana yang perlu dilakukan
dengan memperhatikan kondisi kemampuan belajar siswa serta materi
pelajaran yang akan diajarkan di kelas tersebut. Menyusun strategi untuk
mengantisipasi apabila hambatan dan tantangan muncul agar proses belajar
68 Jurnal Pendidikan Penabur - No.01 / Th.I / Maret 2002
Hasil Penelitian
mengajar tetap dapat berjalan dan tujuan pembelajaran yang telah ditentukan
dapat tercapai.
Pengelolaan kelas akan menjadi sederhana untuk dilakukan apabila guru
memiliki motivasi kerja yang tinggi, dan guru mengetahui bahwa gaya
kepemimpinan situasional akan sangat bermanfaat bagi guru dalam melakukan
tugas mengajarnya. Dengan demikian pengelolaan kelas tidak dapat terlepas
dari motivasi kerja guru, karena dengan motivasi kerja guru ini akan terlihat
sejauhmana motif dan motivasi guru untuk melakukan pengelolaan kelas,
sedangkan dengan gaya kepemimpinan guru yang tepat yang digunakan dalam
pengelolaan kelas akan mengoptimalkan dan memaksimalkan keberhasilan
pengelolaan kelas tersebut.
2. Motivasi
Abraham H. Maslow dengan teori motivasi-nya mengemukakan ada lima
tingkatan kebutuhan manusia secara berjenjang : 1) phisik : sandang, pangan,
dan papan; 2) rasa aman dan jaminan : tidak ada kekawatiran akan dikeluarkan
dari tempat kerja sewaktu-waktu; 3) kasih sayang dan kebersamaan; 4)
penghargaan dan pengakuan; dan 5) aktualisasi diri. (David & Newstorm,
1990:68-71; Hersey & Blanchard, 1993:33-38; French, 1986:113-114).
Dikatakan bahwa pada umumnya kebutuhan yang lebih tinggi tingkatannya
akan muncul setelah kebutuhan pada tingkatan sebelumnya terpenuhi/
terpuaskan.
David Mc. Clelland (French, 1986:115-116; Wexley, 1991:227-231) dengan
Three N yaitu : 1) needs for achievement; 2) needs for power; 3) needs for
afiliation. Orang butuh berprestasi, kekuasaan dan afiliasi. Hasil penelitian David
Mc. Clelland menunjukkan bahwa kebutuhan berprestasi merupakan kebutuhan
manusia yang nyata, yang dapat dibedakan dengan yang lain, dan memerlukan
motivasi yang cukup tinggi.
Frederik Herzberg (French, 1986:116-117; Hersey & Blanchard, 1993:69-
74) menjelaskan bahwa ada faktor motivator yang bersifat langsung dan ada
faktor hygiene yang bersifat tidak langsung, yang berkaitan dengan motivasi.
Faktor-faktor motivator : prestasi, pengakuan, tanggungjawab. Faktor-faktor
hygiene : kebijakan organisasi, pengawasan, gaji, hubungan interpersonal,
dan kondisi kerja.
Hersey & Blanchard (1986, 69-74) kaitannya dengan kerangka motivasi
dan tujuan menjelaskan keterkaitan teori Maslow dengan Herzberg. Maslow
mengidentifikasi kebutuhan atau motif yang ada pada seseorang dalam
melakukan kegiatan, sedangkan Herzberg menitikberatkan pada kepuasan
kegiatan (prestasi) yang akan memotivasi seseorang dalam melakukan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.01 / Th.I / Maret 2002 69
Efektivitas Pengelolaan Kelas
kegiatannya. Kebutuhan penghargaan, pengakuan, aktualisasi diri pada hiarki
Maslow merupakan faktor motivator-nya Herzberg, sedangkan kebutuhan
fisiologi, rasa aman dan jaminan, cinta kasih dan kerbersamaan, serta sebagian
kebutuhan penghargaan dan pengakuan pada hiarki Maslow, identik dengan
faktor hygiene-nya Herzberg.
Berdasarkan kajian teori yang berkaitan dengan motivasi, peneliti
mendefinisikan motivasi adalah dorongan yang muncul dalam diri seseorang
untuk melakukan serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan tujuan yang
ingin dicapai. Dorongan ini muncul dikarenakan adanya kebutuhan, dan peneliti
sependapat dengan kebutuhan dan tingkatan kebutuhan yang dikemukakan
oleh Abraham H. Maslow, David Mc. Clelland yaitu kebutuhan untuk berprestasi,
faktor internal ataupun faktor eksternal.
Keberhasilan pengelolaan kelas bergantung pada motivasi guru, artinya
guru yang memiliki motivasi yang tinggi akan dapat mengelola kelas dengan
baik dan tepat. Mengelola kelas itu sendiri bukanlah tujuan utama dari setiap
guru, akan tetapi apabila guru dapat mengelola kelas dengan baik, maka
kegiatan belajar mengajar-nya akan berjalan baik dan siswa-siswa-nya akan
berprestasi tinggi. Mengelola kelas merupakan sarana/alat untuk mencapai
tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan belajar mengajar. Tujuan guru pada
dasarnya adalah bagaimana guru dapat mentransfer materi pelajaran dengan
baik, sehingga siswa dapat mengerti dan menerima materi pelajaran yang
diajarkan.
Mencermati teori kebutuhan Abraham Maslow, teori kebutuhan berprestasi
David Mc. Clelland, teori ekspektansi Victor H. Vroom, maka motivasi guru
menjadi dasar pertama untuk keberhasilan guru dalam mengelola kelas. Guru
yang puas dengan apa yang diperoleh atau apa yang dapat dicapai dari hasil
dan lingkungan kerja akan dapat berperan banyak dibandingkan dengan guru
yang memiliki motivasi rendah.
Disadari atau tidak, motivasi kerja guru akan mempengaruhi perilaku guru
dalam melakukan tugas pekerjaannya. Guru yang pertama-tama memikirkan
mengenai penghasilan/gaji akan memandang pekerjaannya sebagai sarana
untuk mendapatkan uang, dan sekolah merupakan organisasi yang menjamin
kesejahteraan guru. Guru akan cenderung agar sekolah menerima siswa baru
dengan memperhatikan kemampuan ekonomi siswa/orang tua siswa. Guru
akan berupaya untuk memberikan pelajaran tambahan sebanyak mungkin pada
siswa agar mendapatkan tambahan honor sebagaimana diharapkan. Guru juga
akan mengajar di banyak sekolah agar mendapat penghasilan tambahan. Akibat
perilaku guru seperti itu, guru tidak akan sempat mempersiapkan pelajarannya
dengan baik atau memeriksa tugas siswa satu per satu; guru hanya akan
70 Jurnal Pendidikan Penabur - No.01 / Th.I / Maret 2002
Hasil Penelitian
mengajar dengan metode mengajar yang mudah dilakukan baginya tanpa
memperhatikan apakah siswa-siswanya dapat mengerti materi pelajaran yang
diajarkannya.
Sebaliknya guru yang menaruh perhatian pada perkembangan siswa, akan
berupaya menyumbangkan segala kemampuannya untuk kepentingan siswa.
Guru berupaya membantu siswa yang mempunyai kemapuan belajar yang
rendah. Guru akan menggunakan berbagai metoda mengajar agar siswa dapat
mengerti materi pelajaran yang diajarkannya. Guru tersebut akan mempunyai
kreativitas yang tinggi; mau mengorbankan waktunya agar siswa bisa
berprestasi. Guru akan merasa puas apabila siswa berhasil dengan baik.
Kedua perilaku guru yang digambarkan di atas tidak terlepas dari motivasi
yang dimiliki guru. Guru yang satu mempunyai motivasi hanya sekedar untuk
memenuhi kebutuhan hidup, sedangkan guru yang lain mempunyai motivasi
yang tinggi, bukan untuk kepentingan diri guru itu sendiri, melainkan untuk
kepentingan siswa, untuk kepentingan proses belajar mengajar yang
dilakukannya agar siswa dapat menerima materi pelajaran yang diajarkannya,
dapat mengembangkan potensi dirinya, dapat mempunyai wawasan yang luas
dan berprestasi tinggi.
Guru yang memiliki motivasi yang tinggi dan tidak hanya untuk kepentingan
dirinya, akan dapat melakukan pengelolaan kelas dengan tepat. Guru tersebut
akan menaruh perhatian bagi siswa dan kelasnya. Guru akan melakukan yang
terbaik bagi siswa. Dalam mentransfer materi pelajaran pada siswa, guru
akan mempelajari dan mengatur kelas sedemikian rupa sehingga dapat
digunakan untuk melaksanakan proses belajar mengajar dengan baik. Guru
akan mencermati kemampuan para siswa satu per satu, sehingga guru
mengetahui kemampuan siswa pada tingkatan rendah, sedang atau tinggi.
Dengan demikian guru akan menentukan siswa-siswa yang mana, yang perlu
mendapat bimbingan yang banyak; guru dapat menentukan metoda mengajar
atau media pembelajaran yang harus digunakan. Guru akan menentukan berapa
banyak tugas yang perlu diberikan. Hubungan yang bagaimana yang perlu
dilakukan guru dengan siswa, agar kesulitan belajar siswa dapat teratasi;
motivasi belajar siswa terus meningkat.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja guru ada
hubungan dengan efektivitas pengelolaan kelas. Makin tinggi motivasi kerja
guru, makin tinggi efektivitas pengelolaan kelas yang dapat dicapai. Demikian
pula motivasi kerja guru ada hubungannya dengan gaya kepemimpinan guru
dalam arti guru yang memiliki motivasi kerja tinggi, akan berupaya untuk
melakukan berbagai strategi untuk keberhasilan PBM-nya termasuk untuk
menggunakan gaya kepemimpinan yang tepat.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.01 / Th.I / Maret 2002 71
Efektivitas Pengelolaan Kelas
3. Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan (Bahasa Inggris : Leadership Style) diartikan sebagai
pola tindak seseorang dari seorang pemimpin sebagai ciri kepemimpinannya.
Definisi kepemimpinan hampir sama banyaknya dengan jumlah orang yang
mencoba mendefinisikan konsep tersebut. (Stodgill, 1974:259; Gary A. Yukl,
1994:2), antara lain : Kepemimpinan adalah perilaku dari seorang individu
yang memimpin aktivitas-aktivitasnya suatu kelompok ke tujuan yang ingin
dicapainya bersama (Hemphill & Coons, 1957 : 7); Kepemimpinan adalah proses
mempengaruhi aktivitas-aktivitas sebuah kelompok yang diorganisasi ke arah
pencapaian tujuan (Rauch & Behling, 1984 : 46).
Gaya kepemimpinan akan menentukan sejauhmana efektivitas
kepemimpinan, karena seorang pemimpin yang memiliki gaya kepemimpinan
yang tepat, akan dapat mengoptimalkan dan memaksimalkan
kepemimpinannya. Para pakar manajemen mendekati konsep efektivitas
kepemimpinan dari segi sikap perilaku pemimpin, dengan anggapan bahwa
kemampuan untuk membangkitkan, menggerakkan, dan mengarahkan orangorang
yang dipimpin, agar mengikuti kemauan pemimpinnya tergantung pada
gaya kepemimpinan dari pemimpin tersebut (Didi B. Djajamihardja dkk. 1994
: 32). Lebih lanjut dikemukakan bahwa gaya kepemimpian yang berdasarkan
pada kewenangan yang dimiliki seorang pemimpin dikelompokkan menjadi
tiga macam yaitu : 1) Gaya kepemimpinan autokratik (otoriter), 2) Gaya
kepemimpinan demokratik atau partisipatif, dan 3) Gaya kepemimpinan bebas
(laissez faire atau free rein) (Didi B. Djajamihardja dkk. 1994 : 32; Winkel,
1987 : 117; Owens, 1981 : 149).
Para ahli menyatakan bahwa tidak ada satu gaya pun yang paling tepat
yang dapat mengatasi permasalahan yang muncul dalam berbagai situasi yang
berbeda. Pendekatan situasional merupakan alternatif untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan yang berbeda-beda. Kepemimpinan situasional
menjelaskan bagaimana seseorang berperilaku.
Peneliti pada Ohio States Leadership Studies, Ralph Stodgill mendefinisikan
kepemimpinan sebagai perilaku individu ketika mengarahkan aktivitas suatu
kelompok untuk mencapai tujuan, terdiri dari : 1) initiating structure : perilaku
pemimpin yang berorientasi tugas; dan 2) consideration : perilaku pemimpin
yang berorientasi hubungan.
Seorang pemimpin yang berorientasi tugas akan mempunyai kecenderungan
berperilaku untuk menginformasikan apa yang diharapkan dari mereka;
memberikan tugas-tugas secara khusus; mengarahkan dan membantu
pengikutnya menyelesaikan tugas-tugas yang harus diselesaikan; minta anggota
kelompoknya untuk mengikuti standar peraturan dan ketentuan.
72 Jurnal Pendidikan Penabur - No.01 / Th.I / Maret 2002
Hasil Penelitian
Seorang pemimpin yang berorientasi hubungan akan mempunyai
kecenderungan berperilaku untuk menyediakan waktu, mendengarkan anggota
kelompoknya, menaruh perhatian pada permasalahan yang dikemukakan, ingin
melakukan perubahan ke arah yang lebih baik; bersikap ramah dan bersahabat.
Paul Hersey & Kenneth H. Blanchard mengembangkan penemuan Ohio States
tersebut dalam konsep tersebut yang dinyatakan dalam empat kuadran dengan
sumbu horisontal menyatakan perilaku yang berorientasi tugas dan sumbu
vertikal menyatakan perilaku yang berorientasi hubungan.
Pada gambar 1 tampak bidang berbentuk bujursangkar yang terbagi menjadi
empat bagian yang sama; kuadran S1 menunjukkan perilaku tinggi tugas dan
rendah hubungan; kuadran S2 : tinggi tugas dan tinggi hubungan; kuadran S3
: rendah tugas dan tinggi hubungan; dan kuadran S4 : rendah tugas dan
rendah hubungan. Keempat gaya dasar ini menjelaskan gaya kepemimpinan
yang berbeda. Gaya kepemimpinan seseorang adalah pola perilaku seseorang
ketika mencoba mempengaruhi aktivitas yang dilakukan. Gaya kepemimpinan
Gambar 1.
Gaya kepemimpinan situasional (perilaku
pemimpin yang efektif) menurut Paul
Hersey & Kenneth Blanchard.
Gambar 1.
Perluasan model kepemimpinan situasional
menurut Paul Hersey & Kenneth Blanchard.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.01 / Th.I / Maret 2002 73
Efektivitas Pengelolaan Kelas
seseorang merupakan kombinasi perilaku yang berorientasi tugas dan perilaku
yang berorientasi hubungan.
Pada gambar 2 tampak hubungan antara perilaku tugas dan perilaku
hubungan didefinisikan sebagai berikut :
Task behaviour – The extent to which leaders are likely to organize and
define role of the members of their group (followers); to explain what
activities each is to do and when, where, and how tasks are to be accomplished;
characterized by endeavoring to established well-defined patterns
of organization, channel of communications, and ways of getting
jobs acomplished.
Relationship behaviour – The extent to which leaders are likely to maintain
personal relationships between themselves and members of their
group (followers) by openning up channel of communications, providing
sosioemotional support, “psychological stokes”, and facilitating behaviors.
(Hersey & Blanchard, 1993 : 129)
Secara sederhana perilaku tugas diartikan luasnya kesempatan atau
banyaknya waktu serta tindakan yang dipergunakan seorang pemimpin sebagai
dasar dalam melakukan aktivitasnya dengan melakukan komunikasi satu arah
dalam kerangka memberi penjelasan, instruksi atau petunjuk mengenai apa
yang harus dilakukan, dimana, kapan, dan bagaimana melakukannya serta
dengan cara apa tugas-tugas dapat diselesaikan. Sedangkan perilaku hubungan
diartikan luasnya kesempatan atau banyaknya waktu serta tindakan yang
dipergunakan pemimpin sebagai dasar melakukan komunikasi dua arah dalam
kerangka memberikan dukungan sosio-emosional, pengaruh-pengaruh
psikologis serta kesempatan yang diberikan kepada para anggota/pengikut
untuk berpartisipasi dan berinisiatif.
Siswa sebagai subjek pendidikan dalam PBM, dapat dipastikan mempunyai
kemampuan dan karakter yang berbeda-beda, karena mempunyai tingkat
kematangan yang berbeda. Peneliti mendefinisikan gaya kepemimpinan guru
adalah pola tindakan yang dilakukan guru, yang disesuaikan dengan kebutuhan
berdasarkan kemampuan siswa. Pola tindakan yang perlu dimiliki guru adalah
pola tindak yang berorientasi pada tugas, dan yang berorientasi pada hubungan.
Pola tindakan yang berorientasi pada tugas bertujuan untuk membantu
siswa terutama yang mempunyai kemampuan melakukan tugas rendah, agar
dapat menyelesaikan tugas dengan benar. Pola tindak yang berorientasi pada
hubungan bertujuan untuk mengkondisikan situasi kelas/belajar mengajar
(memotivasi atau menstimulasi atau mempengaruhi), agar tugas/kegiatan guru
dan siswa dapat dilakukan dengan tepat.
74 Jurnal Pendidikan Penabur - No.01 / Th.I / Maret 2002
Hasil Penelitian
Berdasarkan paparan di atas, peneliti menyimpulkan gaya kepemimpinan
yang perlu dimiliki guru adalah gaya kepemimpinan situasional, artinya seorang
guru perlu memiliki kemampuan untuk menggunakan suatu gaya kepemimpinan
sesuai dengan kebutuhan kelas dalam melaksanakan PBM.
Gaya kepemimpinan ini akan menentukan efektivitas dan efisiensi
kepemimpinan seseorang. Pengelolaan kelas yang berhasil dengan baik akan
ditentukan pula oleh kepemimpinan dan gaya kepemimpinan guru yang
mengelola kelas tersebut. Kepemimpinan dan gaya kepemimpinan merupakan
dua hal yang tidak terpisahkan.
Selain faktor motivasi kerja guru, faktor lain yang ada pada pribadi guru
dan ikut menentukan efektivitas pengelolaan kelas yaitu gaya kepemimpinan
guru. Gaya kepemimpinan adalah bagian dari kepemimpinan seorang guru
yang disadari atau tidak, dimiliki oleh guru tersebut. Gaya memimpin kelas
memberikan bobot tersendiri bagi guru dalam melaksanakan proses belajar
mengajar, dalam mentransfer materi pelajaran pada siswa.
Kemampuan siswa akan menentukan apa yang harus dilakukan guru agar
materi pelajaran yang diajarkan dapat diterima, dipahami siswa, serta tujuan
pengajaran dapat dicapai. Kemampuan siswa diistilahkan oleh Hersey &
Blanchard sebagai tingkat kematangan siswa, yaitu : rendah, moderat, dan
tinggi. Masing-masing tingkat kematangan ini memerlukan gaya kepemimpinan
yang berbeda. Berkenaan hal itu, peneliti berpendapat perlunya gaya
kepemimpinan situasional, yang menurut Hersey & Blanchard, didasarkan pada
: 1) the amount of guidance and direction (task behavior) a leader gives; 2)
the amount of sosio-emotional support (relationship behavior) a leader provides;
and 3) the readiness level that the follower exhibit in performing a
specific task, function or objectives. (1993 : 194).
Kesiapan/kondisi kemampuan siswa yang tidak sama satu dengan yang
lain merupakan faktor yang nyata ada dalam kelas dan tidak bisa dihilangkan.
Oleh karena itu pengelolaan kelas yang harus dilakukan guru, salah satunya
untuk mengatasi hal tersebut, dan siswa tetap dapat menerima materi pelajaran
serta berprestasi.
Pengelolaan kelas memiliki fungsi yang jelas. Tujuan pengelolaan kelas
yaitu menciptakan dan menjaga kondisi kelas agar PBM dapat berlangsung
dengan baik sesuai dengan sasarannya. Artinya upaya yang dilakukan oleh
guru, agar siswa-siswa yang kemampuannya tidak semuanya sama, dapat
mengikuti dan menguasai materi pelajaran yang diajarkan guru.
Kepemimpinan situasional dengan gaya kepemimpinan situasionalnya yang
dimiliki guru merupakan solusi untuk keberhasilan pengelolaan kelas yang
efektif. Guru akan selalu mempelajari kondisi siswa di kelas tempat guru tersebut
Jurnal Pendidikan Penabur - No.01 / Th.I / Maret 2002 75
Efektivitas Pengelolaan Kelas
mengajar, dan menentukan apa yang harus dilakukan oleh guru, sehingga
kegiatan belajar mengajar dapat berjalan dengan baik dan tujuan pengajaran
tercapai. Menurut Hersey & Blanchard, perilaku tugas dan perilaku hubungan
akan mengoptimalkan kegiatan belajar mengajar di kelas tersebut.
Berdasarkan pada ketiga paparan di atas dapat disimpulkan bahwa
pengelolaan kelas yang efektif dapat dicapai dengan motivasi kerja guru yang
tinggi, dan gaya kepemimpinan situasional yang dianut oleh guru.
D. Metodologi
1. Populasi Dan Sampel
Jumlah subjek populasi untuk penelitian adalah jumlah subjek populasi
setelah dikurangi dengan jumlah subjek sampel untuk uji coba instrumen yaitu
231 - 40 = 191. Peneliti menentukan, untuk penelitian setiap SMUK yang
diteliti, diambil 12 subjek sampel, sehingga jumlah keseluruhan subjek sampel
yaitu 60. Jumlah subjek sampel yang diambil juga lebih dari jumlah minimal
menurut Gay.
Tabel 1 : Jumlah Subjek Populasi & Jumlah Subjek Sampel Guru SMUK BPK PENABUR di
Jakarta Untuk Penelitian
E. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Data
Jumlah responden yang dikutsertakan 60 orang guru SMU Kristen BPK
PENABUR di Jakarta yang mengajar pada tahun pelajaran 1999/2000, sedangkan
angket penelitian yang kembali sejumlah 58 responden. Variabel-variabel yang
diukur , yaitu, 1) motivasi kerja guru (X1), 2) gaya kepemimpinan guru (X2),
dan 3) efektivitas pengelolaan kelas (Y). Dengan menggunakan bantuan program
komputer statistik SPPS 10 (Statistical Program and Services Solutions
10) diperoleh :
76 Jurnal Pendidikan Penabur - No.01 / Th.I / Maret 2002
Hasil Penelitian
Tabel 2: Skor Minimum, Maksimum, Rerata, Median, Varians dan Standar Deviasi
Variabel Motivasi (X1), Gaya Kepemimpinan (X2) dan Efektivitas Pengelolaan
Kelas (Y)
2. Analisis
Dari ketiga hasil pengujian hipotesis ternyata semua hipotesis menyatakan
bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara variabel bebas dengan
variabel terikat, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama.
Pembahasan lebih lanjut dari hasil penelitian ini dijelaskan, sebagai
berikut :
a. Jika dilihat dari hubungan antara motivasi kerja (X1), dan efektivitas
pengelolaan kelas SMU Kristen BPK PENABUR di Jakarta (Y) sebesar 0,377
> dari rtabel = 0,266.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan
signifikan antara motivasi kerja dan efektivitas pengelolaan kelas SMU Kristen
BPK PENABUR di Jakarta. Angka koefisien korelasi ini selain bermakna bahwa
hipotesis penelitian dapat diterima, namun sekaligus menjelaskan bahwa
37,70% efektivitas pengelolaan kelas SMU Kristen BPK PENABUR di Jakarta
ditentukan oleh faktor motivasi kerja. Dengan kata lain, dapat disimpulkan
bahwa semakin tinggi motivasi kerja guru, semakin efektif pula pengelolaan
kelas SMU Kristen BPK PENABUR di Jakarta. Dorongan ini muncul dikarenakan
adanya kebutuhan, dan peneliti sependapat dengan kebutuhan dan tingkatan
kebutuhan yang dikemukakan oleh Abraham H. Maslow, David Mc. Clelland
yaitu kebutuhan untuk berprestasi, faktor internal ataupun faktor ekternal.
Dengan kontribusi faktor motivasi kerja guru sebesar 37,70 % bagi efektivitas
pengelolaan kelas, yang berarti bahwa kontribusi tersebut berada pada taraf
sedang-sedang saja. Pada kontribusi faktor motivasi kerja ini seharusnya cukup
tinggi mengingat adanya kebutuhan internal bagi guru. Namun demikian perlu
menjadi perhatian mengapa kontribusinya hanya sedang-sedang saja.
2. Gaya kepemimpinan guru (X2) sebagai variabel bebas kedua juga memiliki
korelasi yang positif dan signifikan dengan efektivitas pengelolaan kelas
(Y) SMU Kristen BPK PENABUR di Jakarta sebesar 0,431 > dari rtabel =
0,266
Jurnal Pendidikan Penabur - No.01 / Th.I / Maret 2002 77
Efektivitas Pengelolaan Kelas
Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan
signifikan antara gaya kepemimpinan guru dan efektivitas pengelolaan kelas
SMU Kristen BPK PENABUR di Jakarta. Angka koefisien korelasi ini selain
bermakna bahwa hipotesis penelitian dapat diterima, namun sekaligus
menjelaskan bahwa 43,10 % efektivitas pengelolaan kelas SMU Kristen BPK
PENABUR di Jakarta ditentukan oleh faktor gaya kepemimpinan guru. Dengan
kata lain, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi gaya kepemimpinan guru,
semakin efektif pula pengelolaan kelas SMU Kristen BPK PENABUR di Jakarta.
Kontribusi faktor gaya kepemimpinan bagi efektivitas pengelolaan kelas
sebesar 43,10 % lebih besar dibandingkan dengan kontribusi faktor motivasi
kerja dalam penelitian ini yang hanya 37,70 %. Kontribusi faktor gaya
kepemimpinan ini juga masih berada pada taraf sedang. Peneliti
menginterprestasikan bahwa gaya kepemimpinan sebagai faktor penting dalam
melakukan tugas mengelola kelas (baca tugas mengajar) belum dioptimalkan
karena belum disadari sepenuhnya potensi dari gaya kepemimpinan dalam
PBM.
3. Efektivitas pengelolaan kelas (Y) SMU Kristen BPK PENABUR di Jakarta
yang merupakan implementasi dari motivasi kerja guru (X1) dan gaya
kepemimpinan guru (X2) secara bersama-sama.
Hasil perhitungan Ry.12 = 0,654. Angka koefisien korelasi ini selain bermakna
bahwa hipotesis penelitian bisa diterima, juga menjelaskan bahwa 42,80 %
efektivitas pengelolaan kelas SMU Kristen BPK PENABUR di Jakarta ditentukan
oleh kedua variabel bebas motivasi kerja guru dan gaya kepemimpinan guru.
Hal ini berarti bahwa semakin tinggi motivasi dan gaya kepemimpinan guru,
maka semakin efektif pengelolaan kelas SMU Kristen BPK Penabur di Jakarta.
Kontribusi yang sedang-sedang saja yaitu hanya sebesar 42,10 %,
menunjukkan bahwa adanya hal-hal yang berkaitan dengan faktor motivasi
kerja dan gaya kepemimpinan guru yang perlu diteliti lebih lanjut yang
mempengaruhi efektivitas pengelolaan kelas yang maksimal.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa secara bersama-sama faktor
motivasi kerja dan gaya kepemimpinan guru memberikan kontribusi sebesar
42,80 % bagi efektivitas pengelolaan kelas, yang juga berada pada taraf sedang.
Dengan demikian perlu dicermati bahwa ada hal-hal yang perlu diupayakan
agar pengelolaan kelas dapat mempunyai tingkat efektivitas yang tinggi. Artinya
faktor motivasi kerja guru yang pertama-tama perlu ditingkatkan, kemudian
pemanfaatan gaya kepemimpinan guru yang variatif juga perlu ditingkatkan,
ataukah ada faktor-faktor lainnya.
78 Jurnal Pendidikan Penabur - No.01 / Th.I / Maret 2002
Hasil Penelitian
F. Kesimpulan, Implikasi, dan Saran
1. Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa :
a. Kontribusi motivasi kerja guru terhadap efektivitas pengelolaan kelas,
yaitu mengkondisikan kelas dengan pendekatan memodifikasi perilaku,
memfasilitasi iklim sosio-emosional, dan memfasilitasi proses dinamika,
masih belum optimal, hanya 37,70 %.
b. Kontribusi gaya kepemimpinan guru terhadap efektivitas pengelolaan kelas,
juga masih belum optimal (43,10 %), meskipun sedikit lebih tinggi dari
kontribusi motivasi kerja.
c. Secara bersama-sama kontribusi motivasi kerja dan gaya kepemimpinan
guru-guru SMU Kristen BPK Penabur di Jakarta juga masih belum optimal
(42,80 %).
2. Implikasi
Pertama. Dengan kontribusi motivasi kerja guru sebesar 37,70%; gaya
kepemimpinan guru sebesar 43,10%; dan secara bersama-sama kedua
variabel sebesar 42,80%, menunjukkan bahwa tingkat ketercapaiannya
pengelolaan kelas yang efektif belum optimal. Artinya motivasi kerja guruguru
SMU Kristen BPK PENABUR di Jakarta belum cukup tinggi untuk
melakukan pengelolaan kelas yang efektif, dan belum cukup banyak
memanfaatkan gaya kepemimpinan guru yang bervariasi. Hal ini
menunjukkan tingkat keberhasilan siswa yang dihasilkan dari peranan
guru dalam mengelola kelas rendah.
Kedua. Faktor motivasi kerja guru sebagai penggerak dari tujuan kegiatan
yang ingin dicapai perlu selalu dikondisikan atau ditingkatkan. Artinya
pengurus BPK PENABUR Jakarta perlu selalu mengupayakan agar motivasi
kerja guru tinggi.
Ketiga. SMU Kristen BPK PENABUR, cepat atau lambat akan tersaingi oleh
sekolah-sekolah yang lebih baik dalam melakukan pengelolaan kelas;
memiliki guru-guru yang profesional dan bermotivasi kerja tinggi; memiliki
dedikasi dan loyalitas yang tinggi; secara bersama-sama memiliki
komitmen yang kuat untuk melaksanakan misinya dalam rangka mencapai
visi.
3. Saran
Pertama. Pengurus BPK PENABUR Jakarta perlu menelaah lebih jauh faktor
penyebab motivasi kerja guru yang rendah, dan mengupayakan agar
meningkat. Pada kondisi motivasi keja guru tinggi perlu dijaga. Dari hasil
Jurnal Pendidikan Penabur - No.01 / Th.I / Maret 2002 79
Efektivitas Pengelolaan Kelas
kuesioner terlihat bahwa guru-guru yang masa kerjanya kurang dari 5
tahun merasa imbal jasa berupa gaji/honor yang diterima cukup memadai,
sedangkan guru-guru dengan masa kerja lebih dari 5 tahun merasa gaji/
honor yang diterima tidak memadai dan tidak menarik. Secara kongkrit
saran peneliti mengenai imbal jasa adalah perlu ada sistem dan pemberian
imbal jasa yang lebih tepat dan secara periodikal selalu dikaji ulang,
agar guru-guru yang berpengalaman dan berkualitas tidak keluar dari
BPK PENABUR hanya karena imbal jasa.
Kedua. Kemampuan guru untuk menggunakan gaya kepemimpinan guru yang
variatif sesuai dengan kebutuhan dalam proses belajar-mengajar perlu
ditingkatkan, karena akan meningkatkan efektivitas pengelolaan kelas,
artinya hasil belajar dan prestasi siswa akan terus meningkat. Untuk itu
guru-guru SMU Kristen BPK PENABUR perlu diberikan pemahaman melalui
pembinaan/pelatihan mengenai manfaat gaya kepemimpinan situasional
bagi keberhasilan PBM. Gaya kepemimpinan situasional menyesuaikan
dengan kondisi siswa. Adanya tindakan yang berbeda yang perlu dilakukan
pada siswa yang memiliki kemampuan belajar tinggi, sedang, dang rendah.
Ketiga. Pengurus BPK PENABUR Jakarta melalui kepala sekolah perlu
menetapkan pengelolaan kelas yang efektif sebagai kebijakan sekolah
yang mewajibkan guru-guru-nya melakukan pengelolaan kelas dengan
fungsi, yaitu mengkondisikan kelas dengan pendekatan memodifikasi
perilaku, memfasilitasi iklim sosio-emosional, dan memfasilitasi proses
dinamika; dengan mengoptimalkan gaya kepemimpinannya secara
bervariasi. Selain menjadi kebijakan dan manajemen sekolah perlu
menyusun perencanaan dan strategi untuk mengimplementasikan
pengelolaan kelas dengan tepat; disiapkan instrumen supervisi untuk
mengukur keberhasilannya, serta untuk membantu guru dalam mengatasi
berbagai hambatan dalam pengelolaan kelas tersebut, perlu dilakukan
sosialisasi, pelatihan guru-guru dalam melakukan tugas pekerjaannya
sebagai pengelola kelas secara terencana dan kontinu.
Keempat. Untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan kelas SMU Kristen BPK
PENABUR di Jakarta, maka perlu dilakukan penelitian lain seperti misalnya
1) Tingkat kepuasan kerja guru-guru SMU Kristen BPK PENABUR Jakarta;
2) Penggunaan metode pengajaran yang inovatif dan kreatif dalam
pengelolaan kelas.
80 Jurnal Pendidikan Penabur - No.01 / Th.I / Maret 2002
Hasil Penelitian
Daftar Pustaka
Aldag, Ramon J. & Stearns, Timothy M. (1987). Management. Cincinanti : South-
Western Publishing Co.
Arikunto, Suharsimi. (1995). Manajemen penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.
Cooper, James M. (1995). Classroom teaching Skills. Lexington : D.C. Heath and
Company.
Depdiknas. (1994). Kurikulum SMU – petunjuk pelaksanaan administrasi pendidikan
di sekolah. Jakarta : Dirjen Dikdasmen Dirdikmenun.
Djadjamihardja, Didi R., et.al. (1994). Kepemimpinan dan gaya kepemimpinan serta
efektivitas kepemimpinan. Jakarta : Institut Bankir Indonesia.
Donelly, James H., Jr., Gibson, James L., and Ivancevich, John M. (1989). Management,
principles and functions. Boston .
Hadiat. (1984). Pengelolaan Kelas. Bandung : Depdikbud P3G IPA.
Hayat, Bahrul. (1997). Manual item and test analysis (ITEMAN). Jakarta : Depdikbud
Balitbang Puslitbangsisjian.
Hersey & Blanchard. (1993). Management of organizational behavior – utilizing
human resources. Sixth Edition. New Jersey : Prentice Hall International.
Inc.
Kuratko, F. Donald, and Hodgetts, M. Richard,. (1998). Management. San Diego :
Hardcourt Brace Jovanovich, Publishers.
Samana, A. (1994). Profesionalisme keguruan. Yogyakarta : Kanisius.
Sevilla, Consuello G, dkk. (1993). Pengantar metode penelitian. Jakarta : Penerbit
Universitas Indonesia.
Santoso, Singgih. (2000). SPSS – SPSS – Buku latihan spss statistik parametrik
versi 10. Jakarta : Elex Media Komputindo.
Usman, Moh. Uzer. (1996). Menjadi guru profesional. Bandung : Remaja Rosda
Karya.
Vembriarto, St., dkk. (1994). Kamus pendidikan. Jakarta : Grasindo.
Winkel, W.S. (1987). Psikologi pengajaran. Jakarta : P.T. Gramedia.
Yukl, Gary A. (1998). Leadership in organizations 3e. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta
: Prenhallindo. http://www.bpkpenabur.or.id/files/Hal.64-80%20Efektivitas%20Pengelolaan%20Kelas.pdf
MANAJEMEN KELAS (Materi Diklat PTK - PNF)
MANAJEMEN KELAS
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung
SEMARANG 8 AGUSTUS 2008
(Materi Diklat PTK - PNF)
A. PENDAHULUAN
Dunia pendidikan kita dewasa ini menghadapi berbagai masalah yang amat kompleks, dan semua itu memerlukan perhatian kita semua. Salah satu diantaranya adalah perhatian kita terhadap pengelolaan kelas. Kelas sebagai basis pengajaran di garis depan adalah tempat berlangsungnya interaksi antara guru dengan murid secara nyata. Interaksi ini bermuatan pendidikan apabila guru merancang interaksinya secara pedagogis dapat dipertanggungjawabkan. Maksud secara pedagogis adalah adanya upaya bertanggung jawab dari guru untuk mengantarkan peserta didik mencapai tujuan pendidikan yang telah digariskan
Merupakan upaya yang strategis apabila perbaikan pendidikan dimulai dari memperbaiki interaksi guru dengan murid di dalam kelas. Hal ini sejalan dengan konsep desenteralisasi pendidikan yang mengedepankan kemandirian guru dalam membangun interaksi dengan peserta didik melalui proses pembelajaran. Kelas sebagai unit terkecil dalam keseluruhan sistem pendidikan nasional sering dilupakan dalam pembahasan berbagai kebijakan penting tentang pendidikan umumnya dan pembelajaran di sekolah khususnya (A.Aziz Wahab; 2007). Pengkajian terhadap manajemen kelas akan meningkatkan pemahaman kita dalam memperolah pencerahan tentang kelas untuk melakukan perbaikan ke depan (Goodlad; 1984).
Pembahasan tentang manajemen kelas merupakan sesuatu hal yang penting baik masa sekarang maupun masa yang akan datang. Pembahasan dari hal yang sederhana seperti misalnya, ruang kelas, kursi, meja, almari, alat-alat tulis dan lain sebagainya, adalah peralatan pendukung manajemen yang sederhana. Hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana merancang tata letak yang paedagogis, kemudian bagaimana tingkat pemanfaatan media yang ada sebagai media pembelajaran, ini merupakan pekerjaan tersendiri yang merupakan bidang garapan dari manajemen kelas.
B. KELAS SERTA PENGELOLAANNYA
Guru yang telah memiliki jam mengajar cukup lama tidak banyak mengalami kesulitan dalam mengelola kelas waktu berlangsungnya proses pembelajaran. Berbeda dengan guru baru yang belum memiliki jam mengajar yang banyak. Kebanyakan diantara mereka masih mencari bentuk atau pola dengan mencontoh gurunya yang mereka sukai pada waktu mengajar. Tidak terlintas dibenaknya bahwa yang dihadapi ini bukan dirinya pada waktu dahulu. Akibatnya proses interaksi belajar mengajar yang dikembangkan terkesan foto copy dari cara gurunya mengajar pada masa lalu.
Pola berfikir demikian ini banyak terjadi, terutama guru yang memiliki pengetahuan dedaktik-metodik pengajaran yang minim. Pada lembaga-lembaga kursus peluang terjadi serupa ini sangat besar, karena para instrukturnya kebanyakan tidak memiliki latar belakang pendidikan atau pengalaman pengelolaan kelas sesuai dengan asas dedaktik. Akhirnya proses interaksi belajar-mengajar yang dikembangkan penuh sesak dengan transfer pengetahuan, minim transfer keperibadian. Akibat lanjut kelas menjadi tempat penuangan bejana, bukan tempat berinteraksi.
Jika hal tersebut dilihat dari konsep bisnis, tidak menimbulkan persoalan, karena kelas dipandang sebagai medan pertemuan antara yang sama-sama membutuhkan. Siswa membutuhkan penguasaan ilmu sebanyak-banyaknya dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sedangkan instruktur membutuhkan imbalan materi sebanyak-banyaknya dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Persoalan akan menjadi berbeda jika dilihat dari hakekat pembelajaran. Apabila tujuan kelembagaan yang kita bangun bertujuan untuk pengajaran, maka pengelolaan kelas secara substansial dengan aspek bisnis benar adanya; namun jika tujuan kelembagaan yang kita bangun bertujuan untuk pendidikan, maka tidak begitu tepat. Filosofi ini juga yang akan mendasari bagaimana manajemen pengelolaan kelas dibentuk atau dikembangkan.
Namun demikian ada sejumlah rambu-rambu umum yang dapat dijadikan acuan baik pada konsep pengajaran maupun pendidikan:
1. Kelas dikelola dengan pola ”semua keperluan”.
Maksudnya bahwa kelas di seting sedemikian rupa untuk dapat melayani semua kepeluan dari para pengguna kelas. Model kelas serupa ini banyak dijumpai pada tempat pendidikan negara-negara berkembang. Kelas seolah ”ruang swalayan”atau one stop service, semua keperluan untuk guru dan murid ada di sana. Kelas seperti ini jika diperuntukkan kelas lembaga kursus memang menjadi idaman bagi para muridnya, karena merasa dimanjakan untuk mendapatkan pelayanan. Bahkan konsep pelayanan prima sering disalahartikan bahwa kelas serupa inilah yang ideal. Jika konsep ruang kelas sebagai proses pendidikan, maka tidak semua kepentingan guru dan murid harus ada di sana. India salah satu negara yang menganut paham ruang kelas adalah ruang penyelenggaraan pendidikan mandiri. Oleh sebab itu keperluan-keperluan pribadi murid tidak selamanya ada dan tersedia di kelas.
2. Pencahayaan dan Kebisingan
Kedua hal di atas pada akhir-akhir ini sering diabaikan oleh pengelola sekolah dalam menata kelas sebagai tempat belajar. Banyak tempat-tempat pendidikan pencahayaan ruang tidak menjadi prioritas. Di samping aspek cahaya juga aspek sirkulasi udara. Akibatnya para siswa yang belajar cepat merasa lelah karena pengaruh dari pendengaran dan penglihatan.
Hambatan-hambatan fisik serupa ini banyak sekali terjadi di kota-kota besar, akibatnya kita sering melihat pelajar begitu selesai jam belajar, tampak di raut wajahnya tanda-tanda kelelahan yang begitu penat. Hal ini di samping beban pelajaran yang diperoleh, juga karena faktor sanitasi lingkungan kelas yang tidak mendukung. Akibatnya semua itu menumpuk pada diri siswa sebagai peserta didik. Akibat lanjut dapat dibayangkan bagaimana lelahnya para siswa, dan ini tampak pada raut wajah mereka masing-masing pada saat selesai proses pembelajaran.
Kelelahan ini semakin menjadi-jadi jika beban pembelajaran tidak sebanding dengan kemampuan tubuh menerima tekanan akibat dari ketidak sehatan lingkungan.
Kondisi lingkungan yang ideal memang sulit diperoleh di daerah kota-kota besar, akan tetapi paling tidak ada upaya teknologi yang dapat dilakukan agar dampak dari lingkungan dalam arti fisik dapat dikurangi resikonya. Sebagai contoh untuk mengurangi tingkat kebisingan suara pada kelas tertentu dapat digunakan dinding peredam, atau gerahnya suatu ruang dapat ditanggulangi dengan pemasangan AC, dlsbnya. Tampaknya aspek teknologi menjadi hal yang penting sebagai jalan keluar untuk menghadapi tantangan alam.
3. Tata letak pengaturan kursi
Jarak antara kursi satu dengan kursi untuk siswa tidak ada aturan baku, hanya pada konsep psikologi sosial disinggung bahwa setiap manusia memiliki teritori atau wilayah pribadi. Beberapa penelitian yang dilakukan Morgan (1970) ditemukan bahwa orang merasa aman jika wilayah sekitarnya memiliki jarak lingkar sekitar 0,5 s/d 1,00 m. Sedangkan jika lebih dari itu mereka akan merasa tersingkirkan dari lingkungan.
Berdasarkan itu kita harus berhati-hati dalam menyusun kursi. Kita harus mengetahui susunan kursi itu untuk keperluan apa. Jika untuk kepentingan belajar, maka wilayah privacy harus diciptakan, sebab banyak diantara siswa merasa tidak nyaman karena tidak memiliki wilayah privacy. Sebaliknya jika itu untuk diskusi, maka jarak antar kursi harus sedikit rapat guna memudahkan mereka membangun wilayah bersama.
Oleh sebab itu tempat belajar ideal bagi siswa ialah apabila tempat duduk mereka dapat dengan mudah dipindahkan sesuai kebutuhan. Cara ini memang sudah banyak dilakukan di tempat-tempat belajar, akan tetapi untuk kelas permanen seperti sekolah sangat berbeda dibandingkan dengan tempat kursus. Tempat kursus lebih leluasa dalam mengatur tempat duduk, karena itu kita harus memahami jika tempat kursus akan mendapat perhatian dari pelanggan, penyusunan kursi merupakan skala prioritas yang harus tetap diperhatikan dan mampu menarik minat pelanggan.
4.Dinding dan Papan Tulis
Dinding dimaksud dalam hal ini adalah warna dinding ruang belajar atau kelas. Banyak penelitian menyatakan bahwa warna ini mempengaruhi kondisi psikologis dari orang yang berada di ruangan tersebut. Untuk kelas belajar sangat disarankan warna yang dipilih adalah lembut, bukan cerah atau gelap.
Sedangkan papab tulis yang digunakan harus kontras karena akan mempengaruhi hasil tulisan. Adapun beberapa jenis papan ajuran yang seyogyanya ada pada lembaga pendidikan adalah:
1.Papan tulis
2.Papan putih
3.Papan magnetik
4.Papan Flip
5.Papan Pameran
6.Papan Flanel
7.Papan Gulung
8.Papan Slip
9.Papan Elektronik
Papan di atas dapat diadakan sesuai dengan kebutuhan proses pembelajaran didalam kelas. Namun perlu diingat keberadaan papan tersebut haruslah sesuai dengan fungsi. Amat tidak bijak apabila kita membentang semua papan itu di dalam ruang kelas, karena di samping mempersempit ruang juga mengganggu pemandangan.
5.Lantai ruang
Lantai ruang dimaksud adalah lantai ruang belajar yang digunakan untuk proses pembelajaran. Ada sebagaian pendapat ruang belajar harus ditutup karpet, ada sebagian yang berpendapat tidak harus. Pendapat ini tidak perlu dipertentangkan karena kedua hal ini tidak berkait langsung dengan proses belajar. Hanya yang dipentingkan adalah kenyamanan yang tercipta karena warna lantai. Beberapa penelitian menemukan bahwa warna lantai akan lebih banyak mempengaruhi pandangan jika kursi yang dipakai adalah model kursi kuliah. Sedangkan jika tempat duduk dilengkapi meja, hal tersebut tidak terlalu berpengaruh pada pandangan mata. Informasi lain menunjukkan bahwa warna dasar lantai cerah lebih berpeluang meimbulkan rasa segar pada pandangan dibandingkan dengan warna gelap. Untuk ini alangkah bijaksananya jika kita ingin membangun ruang belajar berkonsultasi terlebih dahulu pada ahlinya.
Jadi, dapat dikatakan bahwa tempat bekerja, areal kerja, suasana kelas sangat tergantung pada ukuran dan bentuk, serta bagaimana bagian-bagian ruang itu digunakan; termasuk didalamnya:
1. Pengaturan meja guru, lemari penyimpan dokumen, proyektor OHP dll
Maksudnya ialah ketiga sarana tadi harus dalam posisi yang berdekatan agar mudah dijangkau oleh guru dalam mengembangkan interaksi pembelajaran bersama siswa. Tidak ada yang baku untuk meletakkan benda-benda ini. Apakah harus di posisi depan, samping atau belakang kelas.
2. Lemari Buku
Maksudnya ialah bahwa diruang belajar sebaiknya tersedia lemari buku, Lamari ini berfungsi baik untuk siswa atau untuk guru. Tata letak tidak ada ketentuan yang baku, hanya aspek estetika dan kepraktisan perlu diperhatikan. Namun demikian untuk menjaga suasana kelas agar tetap asri hingga menimbulkan suasana belajar yang kondusif, peletakan lemari buku juga perlu diperhatikan.
Perlengkapan yang dapat dimasukkan ke dalam lemari buku ini adalah di samping buku ajar, juga alat-alat pendukung pembelajaran lainnya (OHP, LCD dll). Termasuk hasil tugas siswa yang belum diambil, sehingga tidak ada alasan proses pembelajaran tidak berjalan karena tidak ada peralatan.
Setelah kita memahami kelas sebagai sarana atau tempat proses belajar, persoalan lebih lanjut ialah bagaimana mengelola kelas itu agar didalamnya terjadi proses pembelajaran. Untuk itu kita dapat mengenal beberapa model dalam pengelolaannya:
a.Model Interaksi Sosial
Model ini menekankan pada hubungan antarpeserta didik, peserta didik dengan guru/fasilitator, antara peserta didik dengan alam sekitar. Metode belajar yang paling utama dalam pendekatan ini antara lain diskusi, problem solving, metode simulasi, bekerja kelompok, dan metode lain yang berhubungan dengan berkembangnya hubungan sosial siswa.
b.Model Pembelajaran Alam Sekitar
Model ini menekankan pada bahwa peserta didik dalam mempelajari sesuatu harus melihat langsung, atau merasakan langsung apa yang dipelajari. Minimal bahan yang menjadi topik pengajaran harus yang dirasakan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
c.Model Pembelajaran Pusat Perhatian
Model ini berprinsip bahwa peseerta didik harus dididik untuk dapat hidup dalam masyarakat dan dipersiapkan dalam msyarakat, anak harus diarahkan kepada pembentukan individu dan anggota masyarakat. Oleh sebab itu peserta didik harus mengenal dirinya sendiri seperti hasrat dan cita-citanya, kemudian pengetahuan tentang dunianya seperti lingkungannya dan tempat hidup di hari depannya.
d.Model Pembelajaran Sekolah Kerja
Model ini berprinsip bahwa pendidikan itu tidak hanya untuk kepentingan individu, tetapi juga demi kepentingan masyarakat; dengan kata lain sekolah memiliki kewajiban (1) mempersiapkan tiap peserta didik untuk berkerja pada lapangan tertentu (2) tiap peserta didik wajib menyumbangkan tenaganya untuk kepentingan negara (3) untuk mewujudkan kedua hal tadi peserta didik wajib menjaga keselamatan negara.
e. Model Pembelajaran Individual
Model pembelajaran ini didisain untk pembelajaran mandiri. Bentuk bentuk pembelajaran ini antara lain pola pembelajaran modul. Penekanan pada model pembelajaran individual adalah pada komitmen antara guru dan peserta didik.
f.Model Pembelajaran Klasikal
Model pembelajaran klasikal dikenal model yang paling efisien. Pembelajaran secara klasikal ini memberikan arti bahwa seorang guru melakukan dua kegiatan sekaligus, yaitu: mengelola kelas dan mengelola pembelajaran.
Pada prinsipnya semua model di atas adalah merupakan arahan kepada penyelenggara pendidikan bahwa lembaganya dalam melaksanakan program pendidikannya mengambil model yang mana. Akan tetapi dalam kenyataan praktiknya ternyata model pengembangan di dalam kelas tetap berorientasi pada bagan sebagai berikut:
1. PERUMUSAN TUJUAN 2. KEGIATAN PEMBELA-
Menyusun tujuan instruksional JARAN
Khusus yang operasional, teru menetapkan sumber bela-
tama perubahan perilaku yang jar dan metode pendekat-
diharapkan. an yang dipakai
5. EVALUASI BELAJAR 3. PENGEMBANGAN KE-
Menyusun test standar GIATAN PEMBELAJAR-
yang akan digunakan dan AN
cara pengolahannya Merumuskan bahan dan
materi pelajaran, mene-
tapkan alat kelengkapan
dan media yang akan
dipakai.
4. PELAKSANAAN
a. melakukan pre test
b. menyampaikan bahan
dan materi pelajaran
c. melakukan post test
d. mengadakan perbaikan
pembelajaran
C. PENGGUNAAN BERBAGAI METODE DALAM PROSES BELAJAR-
MENGAJAR.
Pada prakteknya seorang pendidik dalam melaksanakan tugasnya di dalam kelas tidak lepas dari upaya menguasai kelas dan menyampaikan bahan pembelajaran kepada peserta didik. Dalam kegiatan penyampaian tadi pada umumnya menggunakan cara atau metoda tertentu. Walaupun dalam pelaksanaannya tidak terpaku pada satu metode saja, dapat saja dilakukan secara elektif yaitu menggunakan berbagai metoda. Namun pada umumnya metoda yang dipakai itu adalah sbb:
1. Metoda Ceramah
Metoda ini adalah cara klasik yang menempatkan guru sebagai sumber informasi utama dalam proses pmbelajaran. Keunggulan metoda ini ialah mampu memberikan informasi sekaligus pada peserta didik dalam jumlah banyak. Namun kelemahannya metoda ini cukup banyak, diantaranya adalah penguasaan materi dan penguasaan kelas sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan proses pembelajaran.
2. Metode Tanya Jawab
Teknik ini tidak sama dengan teknik intograsi. Tanya jawab dimaksud adalah agar peserta didik dapat mengembangkan kreativitas berfikir, dan motivasi untuk memahami bahan pembelajaran.
3.Metode Diskusi
Teknik ini paling efektif jika topik yang didiskusikan menarik perhatian peserta didik. Jika tidak, maka diskusi, terutama diskusi kelompok, akan menjadi kering dann tidak menghasilkan apa-apa.
4.Metode Demonstrasi
Teknik ini paling efektif jika apa yang akan didemonstrasikan menarik minat peserta didik karena merasa kebutuhannya terpenuhi. Jika kondisi itu tidak terjadi, maka tidak akan muncul kondisi interaktif yang menimbulkan proses pembelajaran.
5.Metoda Sosiodrama
Teknik ini efektif jika tujuan yang akan kita capai adalah pada tataran penghayatan. Perlu diingat penggunaan metoda ini yang menjadi obyek pelaku adalah peserta didik, sementa guru adalah sutradara dari seluruh rangkaian kegiatan ini.
6.Metoda Karyawisata
Teknik ini sangat efektif jika materi pembelajaran tidak mungkin di bawa kemuka kelas. Peserta didik akan mendapatkan pengalaman psikologis langsung terhadap obyek yang dikunjungi.
D.PENUTUP
Uraian di atas secara keseluruhan dapat disesuaikan dengan keadaan kelas pada umumnya sebab tidak mungkin kita menampilkan seluruh proses pendidikan hanya terpaku di muka kelas. Namun persiapan sampai pelaksanaan bahkan evaluasi, sangat mungkin dilakukan jika direncanakan dengan baik.
DAFTAR RUJUKAN
A.Aziz Wahab. Departemen Pendidikan Nasional (2007), Direktorat Tenaga Kependidikan, Dirjen PMPTK:http://www.pmptk.net
Goodlad, John I., (1984) New York : McGraw-Hill Book Company.
Morgan, J (1970), Social Interaction, McGraw-Hill Book Company.
Sagala, Syaiful, (2007), Konsep dan Makna Pembelajaran. Penerbit Alfabeta, Bandung
School-Based Management, Northwest Regional Education Laboratory (NWRL) :http://www.nwrl.org
LIMA SOAL PILIHAN GANDA
Pilih salah satu jawaban yang paling benar:
1. Pengelolaan kelas dalam sistem pembelajaran termasuk pertimbangan:
a. Madya
b. Utama (B)
c. Antara
2. Interaksi yang bermuatan pendidikan disebut ;
a. Interaksi Paedagogis (B)
b. Interaksi Psikologis
c. Interaksi sosial
3. Konsep desentralisasi pendidikan intinya adalah;
a. Kemandian siswa
b. Kemandirian kelas
c. Kemandirian Guru (B)
4. Konsep ruang kelas sebagai ruang pelayanan pendidikan juga disebut dengan;
a. One Stop Proses
b. One Stop Service (B)
c. One by one
5. Papan tulis sebaiknya dibentang disemua penjuru, sebab murid memerlukan
Pelayanan yang prima:
a. Sebab akibat tidak ada hubungan (B)
b. Benar sebab salah akibat
c. Sebab akibat sama-sama salah.
Posted by Prof.Dr.Sudjarwo, M.S at 11:23:15 | Permanent Link | Comments (1) |
http://profsudjarwo.blog.com/3394416/
Manfaat ginseng
-
Manfaat ginseng sebagai tanaman berkhasiat obat TOGA tidak diragukan lagi.
Ginseng adalah tanaman yang mempunyai banyak manfaat untuk kesehatan.
Karena kay...
12 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar