RemembeR

" hidup sekali, hiduplah yang berarti"

Mengenai Saya

Foto saya
Allow cendekiawan baru, ktemu dengan aq dlm blog ini. q asli reog city.blog ini berisi secara keseluruhan tentang pengetahuan. harapanq bermanfaat wuat QM-QM

Rabu, 06 Januari 2010

Catatan tentang Guru

Sebuah catatan tentang para guruku!

Malam ini aku sudah hampir saja menutup layar komputer jinjingku tapi masih kusempatkan membaca status - status teman dan kiriman mereka di wall Facebook, dan satu kiriman berita sempat membuatku sedikit terkejut, tentang berita duka berpulangnya seorang guru SDku ke rumah Bapa di Surga, Beliau juga kebetulan adalah ibunda dari dosen waliku kala kuliah S1. Catatan ini mungkin sedikit personal dan lebih kepada siapa saja orang - orang yang masih ku ingat dan sangat berkesan dalam hidupku, tentang para guru - guru sekolahku khususnya sewaktu SD.

Aku pernah membaca sebuah pertanyaan tentang siapa saja yang akan selalu anda ingat dan mungkin sangat berkesan dalam hidup anda, selain keluarga anda sendiri? Dan jawaban yang kubaca di sebuah majalah itu mengatakan bahwa selebritis dan artis umumnya adalah orang - orang yang sangat mudah dilupakan dalam memori kita dibandingkan para guru kita sewaktu kecil, karena merekalah yang mengajarkan banyak hal pada kita sewaktu kita masih kecil. Guru hadir dalam kehidupan tiap orang dalam berbagai bentuk. Mulai dari gurunya si Ikal dalam ‘Laskar Pelangi’, hingga Maleo-nya Denias hingga peran Neytiri bagi Jake Sully dalam film terbaru ‘Avatar’. Mereka adalah sosok - sosok yang kadang tak kita sadari sangat menginspirasi dan membentuk kita saat ini.

Bicara tentang guru, aku percaya semua orang pasti mempunyai guru dalam hidup mereka; seseorang yang menuntun mereka untuk belajar tentang sesuatu, terlepas apakah ia bersekolah di sekolah negeri, swasta, home schooling ataupun sekolah alam. Kadang kita hanya take them for granted tanpa pernah tahu usaha mereka untuk memberikan yang terbaik, khususnya guru - guru SD. Kebetulan mamaku juga seorang guru SD dan saat ini aku pun bekerja paruh waktu sebagai guru bantu di sebuah SD di Canberra dan mengamati para rekan guru yang lain. Aku sadar bahwa menjadi guru SD bukan perkara yang mudah karena merekalah yang menanamkan basis ataupun landasan pendidikan ke depan, berbagi perspektif tentang belajar serta semangat kepada murid untuk bisa maju dan menghargai pendidikan.

Aku ingat dan masih sangat segar di ingatanku guru - guru SD siapa saja yang sangat berkesan di dalam hidupku sebagai anak SD dan yang membuatku terpacu untuk belajar. Ada 3 orang guru SD yang kebetulan semuanya perempuan yang sampai hari ini kala aku mengingat tentang perjalanan pendidikanku, mereka selalu ada dalam ingatanku, dan salah seorang diantaranya adalah ibunda dari dosen waliku kala S1. Aku tak bilang bahwa para guru yang lain tak berperan dan tak punya arti dalam sejarah pendidikanku tapi ketiga guru ini adalah ketiga guru favoritku kala SD yang memberikanku sayap untuk terbang dan semangat untuk belajar; yang memberikanku kepercayaan. Sewaktu di Manokwari, aku masih sering bertemu dua di antara mereka karena rumahku hanya berjarak 7 menit jalan kaki dari SDku plus karena mamaku juga bekerja di Yayasan yang sama dan kadang bertemu kala mengambil jatah beras di kantor yayasan. Ketiga guru itu kerap kupanggil ibu Morare (guru kelas 1), Ibu Moko (guru kelas 2) dan ibu Afdan (guru kelas 4 - 5). Catatan kali ini mungkin sangat personal tentang kenanganku tentang ketiga guru SDku.

Aku ingat betul kala SD dan bertemu ibu Morare pertama kali. Seorang perempuan berkulit hitam dan berambut keriting yang mengajarkanku memegang pensil dengan benar dan belajar menulis A - Z dan menulis indah serta mengeja. Aku ingat betul beliau dan juga ibu Moko adalah guru - guru yang mengijinkanku untuk memukul papan tulis dengan penggaris kayu dan membaca dengan keras - keras. Guru - guru yang memberiku sayap untuk membaca dan mengeja dengan keras tanpa amarah. Sampai hari ini aku masih bisa mengingat bagaimana suara dan nada bicara ibu Morare kala mengajar membaca ataupun menghitung. Begitu terkesan!

Ibu Moko adalah wali kelasku kala duduk di kelas 2. Dari semua guru favoritku kala SD, beliaulah yang paling lembut dan paling keibuan kala mengajar. Aku ingat beliau paling sering memberikan koreksian dalam berbahasa Indonesia khususnya dalam menulis indah dalam huruf bersambung. Tapi satu hal yang paling kuingat dan kadang kala melihat rapor SDku adalah sebuah pelajaran tentang berbagi kemenangan. Satu hal yang sangat kuingat hingga kini lewat keputusan beliau adalah bahwa tujuan belajar adalah bukan untuk menjadi pemenang dan untuk bersaing bahwa ‘sa-lebih-pintar-dari-ko’ tapi bahwa belajar adalah sebuah proses untuk menjadi tahu dari sebuah keadaan dimana sebelumnya tak tahu. Mungkin anda masih bingung apa yang kumaksud, kan? Ceritanya sewaktu SD, dari kelas 1 - 6, catatan raporku cukup baik secara akademis karena selalu ranking 1 kecuali sewaktu kelas 2 ada satu catur wulan(trimester) yang ranking 1nya aku berbagi dengan seorang teman. Iya, jadi wali kelasku memutuskan untuk menulis rankingnya pada raporku dan seorang teman sama - sama ranking 1 karena sama - sama mempunyai nilai yang sama. Kala beranjak dewasa dan mengenang hal ini, apalagi saat ini kala menjadi guru bantu, aku belajar bahwa keputusan wali kelasku adalah sebuah kebijakan yang bijak karena beliau memutuskan bahwa pendidikan bukanlah sebuah ajang berkompetisi dengan nilai dan memutuskan siapa yang menang dan kalah tetapi lebih kepada sebuah pencapaian. Sesuatu yang hingga hari ini masih kuingat.

Guru ketiga yang entah sekarang beliau berada di mana, karena sejak kepindahan beliau sewaktu tahun 1994, aku tak pernah tahu lagi kabar beliau. Kupanggil beliau, ibu Afdan. Beliaulah yang memberikanku semangat untuk tampil di muka umum dan mengikutkanku dalam lomba baca puisi sewaktu SD bersaing dengan siswa - siswa lain dari sekolah - sekolah ternama di kotaku kala itu. Saat aku SD, sekolahku bukan sekolah yang mempunyai nama, hanya sebuah sekolah yayasan Kristen yang siswa - siswanya rata - rata adalah anak - anak petani, nelayan dan peramu serta penjual sayur. Aku ingat benar saat itu tak terlalu banyak dari teman - temanku yang orang tuanya PNS ataupun TNI/Polri. Ibu Afdan, aku mengenangnya sebagai guru yang bilang bahwa kepercayaan diri itu bukan bakat tapi sesuatu yang harus dikembangkan dan dilatih. Aku masih ingat bagaimana kami yang tak mempunyai seragam diberinya ide dan solusi untuk menjahit rok, menemani aku dan 2 teman ke arena lomba baca puisi tingkat SD se- Kabupaten, menyemangati dan mengajak kami ke rumahnya untuk dilatih. Aku tak akan akan sepercaya diri seperti sekarang ini kalo tak ada beliau dalam masa kecilku.

Mereka, para guru SDku, bukan hanya para pahlawan tanpa tanda jasa saja. Bagiku, merekalah para malaikat yang meminjamkan sayap kepadaku untuk bisa terbang, untuk bisa mengeksplorasi dunia lewat ‘pinjaman’ pengetahuan yang diberikan. Aku tak punya banyak kata - kata untuk bisa menggambarkan jasa mereka tapi satu yang pasti, mereka adalah salah satu berkat yang patut kusyukuri dalam hidupku karena mereka membantu menunjukanku jalan untuk menjadi aku yang seperti sekarang ini.

Sebelum catatan ini kututup, ku teringat sebuah kutipan yang pernah kubaca entah di mana, “A good teacher is like a candle - it consumes itself to light the way to others”.

Terima kasih!

(Canberra, 19 December 2009)

Tidak ada komentar:

Pengikut